Senin, 15 November 2010

Kejayaan Angkatan Perang Indonesia Pada Masa Bung Karno


Pada tahun 1950-1960-an, ketika Indonesia baru saja merdeka dan sedang dikepung dari imperialism dari segala sudut, negeri muda ini memiliki angkatan perang yang sangat tangguh, bahkan disegani di dunia.

Namun, sebelum kita membahas mengenai angkatan perang yang gemilang itu, alangkah baiknya jika diberi pengantar sedikit mengenai situasi politik saat itu. Karena, situasi politik saat itu sangat membidani lahirnya angkatan perang yang tangguh itu.

Latar belakang Politik

Sebelum revolusi Agustus 1945 hingga menjelang provokasi Madiun 1948, Soviet banyak menyokong perjuangan rakyat Indonesia, bukan hanya dalam sokongan politik tetapi juga bantuan material. Sementara itu pembelaan yang dilakukan oleh Dmitri Manuilski dan Andrei Wsjinski atas kemerdekaan Indonesia di arena PBB, membikin nama Republik sovyet Sosialis Ukrainia dan Uni Republik-republik Soviet Sosialis umumnya harum sekali di Indonesia.

Di tahun 1948, Soviet sudah mengulurkan tangan untuk bekerjasama dengan Indonesia, namun semua itu tertunda akibat meletusnya provokasi madiun. Boleh dikatakan, bahwa setelah provokasi Madiun meletus, sokongan tanpa balas budi dari Soviet turut terhenti, dan digantikan oleh campur tangan Amerika Serikat dan sekutunya.

AS, yang telah mengambil peranan lewat Komisi Tiga Negara (KTN), berhasil menggiring Indonesia dan Belanda ke meja perundingan, yaitu Konferensi Meja Bundar (KMB), yang melahirkan sebuah pengakuan formal akan kemerdekaan Indonesia, tetapi melanjutkan kolonialisme terselubung di negeri ini.

Pada tanggal 6 September 1950, seorang tokoh sangat kuat di Masyumi, Natsir, telah memimpin pemerintahan, dan membagi kekuasaannya dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), tetapi menutup pintu untuk golongan kiri.

Karena lebih berorientasi kepada Barat, maka pemerintahan ini sangat anti kepada blok lawannya, yaitu golongan anti-imperialis atau kubu sosialis. Sehingga, kendati Soviet telah mengulurkan tangan untuk kerjasama dengan Negara baru ini, tetapi pemerintahan Natsir terlihat ragu untuk menerimanya.

Setelah Natsir berakhir, kekuasaan dialihkan kepada seorang mitranya yang tidak kalah anti-kirinya, yaitu Sukiman, yang memegang kekuasaan sejak Maret 1951. Meskipun Sukiman menggeser politik luar negeri Indonesia semakin menjauh dari Belanda, namun semakin kelihatan merapat dengan AS, imperialis lainnya yang tak kalah kejamnya.

Pada bulan Februari 1952, tanpa sepengetahuan parlemen, pemerintahan ini telah menandatangi perjanjian “Jaminan Keamanan Bersama” dengan AS, yang telah mengesahkan bantuan militer AS untuk Indonesia.

Sukiman berakhir pada tahun 1952 dan kemudian digantikan oleh tokoh PNI, Wilopo, yang sedikit banyaknya telah merubah haluan politik luar negeri Indonesia. Meskipun pemerintah baru ini masih bersedia menerima bantuan ekonomi dan teknis dari AS, tetapi telah bersikap kritis terhadap Negara adidaya itu.

Imbangan kekuatan makin cepat bergesernya ketika Ali Sastroamidjoyo, salah satu tokoh penting PNI, menjadi perdana menteri. Pada tahun 1953, Indonesia telah mengirim dubesnya yang pertama ke Peking, dan, pada tahun 1954, telah terjadi tukar-menukar dubes antara Indonesia-USSR. Pergeseran ini juga tercermin dalam politik internasionalnya, dimana Indonesia telah mengeritik perang Korea, dan menolak untuk bergabung dengan fakta militer bentukan AS dan sekutunya, SEATO. Menlu AS saat itu, John Foster Dulles, menyebut perubahan sikap Indonesia ini sebagai “politik amoral”.

Pada tahun 1956, dalam suasana perjuangan mengembalikan Irian barat ke pangkuan ibu pertiwi, Bung Karno telah memulai kunjungan ke beberapa Negara, diantaranya, AS, USSR, dan Tiongkok. Meskipun kunjungannya ke AS mendapat sambutan hangat dan berpidato di beberapa tempat di negeri itu, namun penguasa AS kelihatannya memihak kepada Belanda terkait persoalan Irian Barat.

Ketika berkunjung ke USSR, Bung Karno tidak hanya menemukan sebuah suasana yang hangat, tetapi juga dukungan dari Soviet terkait perjuangan nasionalnya. Kedua Negara sepakat menjalin kerjasama, dimana Soviet mengucurkan dana sebesar 100 juta USD.

Peranan Soviet Memperkuat Angkatan Perang Indonesia

Pada tahun 1961, dalam sebuah pidatonya di Moskow, Bung Karno telah menandaskan bahwa Asia-Afrika mengarahkan mukanya kepada Soviet karena mengetahui bahwa negeri ini menghendaki kebebasan seluruh bangsa yang telah memproklamasikan kemerdekaannya, dan menyebut Soviet sebagai “mercusuar” dalam perjuangan mencapai kemerdekaan.

Sebelumnya, November 1959, satu gugus kapal perang Soviet telah singgah di Jakarta, dan angkatan lau Indonesia membalas kunjungan ini pada tahun 1961.

Tahun 1962 telah berdiri konsulat Soviet di beberapa kota, diantaranya, Surabaya, Banjarmasin, dan Medan. Dalam persoalan Irian Barat, Soviet sangat tegas memihak perjuangan rakyat Indonesia, yang digambarkannya sebagai perjuangan untuk melikuidasi segala bentuk kolonialisme.

Terkait bantuan Soviet dalam membina AURI da ALRI saat perjuangan merebut Irian Barat, Laksamana Martadinata mengatakan, “Uni-soviet adalah satu-satunya Negara-negara yang siap membantu Indonesia dengan syarat-syarat yang dapat diterima Indonesia.”

Nah, di bidang militer, yang menjadi inti pembicaraan artikel ini, Uni Soviet memberikan kepada Indonesia bantuan militer yang tidak ada bandingannya. Ribuan orang militer Indonesia diajari oleh instruktur-instruktur Soviet.

Bahkan, menurut sebuah artikel, Soviet memberikan bantuan sangat besar dalam membangun armada laut dan angkatan udara Indonesia, yang nilainya mencapai 2,5 milyar USD. Seperti dicatat Dubes Soviet saat ini, Alexander A Ivanov, ketika Indonesia sibuk menghadapi provokasi Belanda, negerinya pernah memberikan bantuan 17 kapal perang bagi Angkatan Laut (AL) Indonesia.

Untuk angkatan perang laut, Indonesia pernah punya satu kapal perang terbesar dan tercepat di dunia saat itu, buatan Sovyet dari kelas Sverdlov, dengan 12 meriam raksasa kaliber 6 inchi. Inilah KRI Irian, sebuah kapal perang yang memiliki bobot raksasa 16.640 ton dengan awak sebesar 1270 orang termasuk 60 perwira. Bandingkan dengan kapal-kapal terbaru Indonesia sekarang dari kelas Sigma hanya berbobot 1.600 ton.

Untuk angkatan udara, angkatan perang Indonesia menjadi armada udara paling ditakuti di seluruh dunia. Indonesia dikabarkan memiliki ratusan pesawat tempur canggih, yaitu 20 pesawat pemburu supersonic MiG-21 Fishbed, 30 pesawat MiG-15, 49 pesawat tempur high-subsonic MiG-17, dan 10 pesawat supersonic MiG-19.

Pesawat MiG-21 Fishbed (Mikoyan-Gurevich MiG-21), buatan ilmuwan Soviet, adalah salah satu pesawat supersonic paling canggih jaman itu, bahkan mengalahkan pesawat tercanggih yang dipunyai AS; pesawat supersonic F-104 Starfighter dan F-5 Tiger. Sementara Belanda masih mengandalkan pesawat-pesawat peninggalan Perang Dunia II, seperti P-51 Mustang.

Indonesia juga memiliki armada 26 pembom jarak jauh strategis Tu-16 Tupolev (Badger A dan B). Ini membuat Indonesia menjadi salahsatu dari hanya 4 bangsa di dunia yang mempunyai pembom strategis, yaitu Amerika, Rusia, dan Inggris. Pangkalannya terletak di Lapangan Udara Iswahyudi, Madiun.

Indonesia juga memiliki 12 kapal selam kelas Whiskey, yang memiliki penembak peluru kendali, plus 2 kapal sebagai pasokan suku cadang. Kesemuanya pensiun begitu Soekarno jatuh, sedangkan satu buah dijadikan museum disurabaya.

Selain itu, Indonesia juga punya puluhan kapal tempur kelas Corvette, 9 helikopter terbesar di dunia MI-6, 41 helikopter MI-4, berbagai pesawat pengangkut termasuk pesawat pengangkut berat Antonov An-12B. Jika ditotalkan seluruhnya, maka Indonesia mempunyai 104 unit kapal tempur. Senjata mesin AK-47, senjata buatan Soviet yang sangat populer pada jamannya, juga pernah dipergunakan oleh angkatan perang Indonesia di era Bung Karno.

Angkatan perang inilah, ditambah dengan para sukarelawan rakyat, berhasil mengepung dan membuat gemetar Malaysia selama “68 hari”, padahal Malaysia didukung sepenuhnya oleh pasukan Inggris, Selandia Baru dan Australia. Karena kuatnya gempuran Indonesia saat itu, Inggris harus mengirimkan sejumlah kapal perang, termasuk beberapa kapal induk, untuk mempertahankan Malaysia. Tidak hanya itu, Royal Air Force harus mengirim skuadron pesawat tempur dalam jumlah besar untuk mengatasi gempuran Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).

Meskipun, karena perseteruan Sino-Soviet, pihak Soviet akhirnya kurang mendukung politik Bung Karno untuk mengganyang Malaysia. Soviet menyebut tindakan Bung Karno itu sebagai politik “mengisolasi diri”. Namun, sebagian pihak menganggap, bahwa sikap Soviet ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan baru mereka; koeksistensi damai.

Apa Artinya Itu?

Situasi-situasi setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan formal tahun 1949, dibandingkan dengan situasi di hari-hari revolusi, tidaklah menunjukkan kehidupan normal dari ancaman musuh. Di satu sisi, bangsa Indonesia harus berjalan terus dengan revolusinya yang memang belum selesai, sementara, pada pihak lain, gangguan dan rintangan menghalangi republik baru ini untuk menuntaskan revolusinya.

Tidak terhitung berapa banyak provokasi dan kekacauan yang sengaja dilakukan oleh imperialisme dan kekuatan pendukungnya di dalam negeri. Begitu sulitnya perjuangan melewati keadaan-keadaan itu, sehingga Bung Karno menamainya sebagai “tahap survive”.

“Pukulan-pukulan apapun jang djatuh diatas tubuh kita dimasa jang lampau, – pukulan-pukulan apapun jang mungkin telah merebuk-redamkan menghantjur-leburkan bangsa-bangsa lain jang kurang kuat – , kita toh tetap berdiri, kita toh tetap hidup, kita toh tetap survive”, demikian dikatakan Bung Karno menggambarkan kehidupan sulit tersebut.

Dan, dalam perjuangan tahap survive itu, yang diantaranya melawan berbagai gerakan separatis dan intervensi militer negeri-negeri imperialis, keberadaan angkatan perang telah memainkan peranan yang penting.

Lebih dari itu, sebagai bangsa yang baru saja terbangun dari keterpurukan kolonialisme selama ratusan tahun, bangsa Indonesia perlu dibangunkan kepercayaan dirinya dan diperkuat mentalnya, salah satunya, melalui pembangunan angkatan perang itu.

Meskipun, harus pula dicatat bahwa dalam berbagai peperangan dan konfrontasi, Indonesia tidak hanya menonjolkan kekuatan angkatan perangnya, tetapi juga memperlihatkan mobilisasi dari sukarelawan-sukarelawan rakyatnya.

Dan, kenapa Soviet yang begitu mengambil peran dalam proyek pembangunan angkatan perang itu? Jawabannya: Karena hanya Sovietlah, dari barisan Negara yang berteknologi maju, yang mau dengan tulus menyokong kemerdekaan Indonesia dan mendukung sikap politik anti-imperialisme dan anti-kolonialisme Indonesia saat itu. Dan, terbukti setelah Soekarno jatuh dan hubungan dengan Soviet dilikuidasi, angkatan perang Indonesia semakin merosot.

Dan, pada kenyataannya, Soviet tidak hanya punya andil dalam memperkuat angkatan perang Indonesia saat itu, tetapi juga membantu dalam proyek-proyek pembangunan, seperti jalan raya, pembangunan gedung-gedung dan arsitekturnya, industri, dan lain sebagainya. Krakatau Steel, salah satu industri baja terbesar yang pernah dimiliki Indonesia, adalah hasil kerjasama dengan Soviet, dimana negerinya Lenin itu mengucurkan dana 100 juta USD untuk membangun industri baja tersebut.

Kini, setelah angkatan perang dibina oleh rejim-rejim yang ‘jinak” pada AS, maka angkatan perang Indonesia pun tak lagi disegani oleh dunia. Angkatan perang Indonesia hanya mempunyai 114 unit kapal perang, 10 pesawat Sukhoi, 67 unit pesawat tempur, dan enam buah pangkalan pesawat militer.

Bandingkan dengan Korea Utara, negeri kecil yang tidak pernah bisa digertak AS, memiliki pesawat pembom sekitar 80 buah, Jet tempur 440, pesawat transportasi 215, Helikopter sebanyak 302. Angkatan Laut Korea Utara memiliki 63 kapal selam, frigat 3, dan kapal Amphibi sejumlah 261.

Meskipun begitu, sehebat apapun sebuah angkatan perang, tapi kalau tidak dilandasi oleh sebuah semangat atau patriotisme, maka itu tidak ada gunanya. Napoleon Bonaparte pernah berkata; “Hanya ada dua kekuatan di dunia ini; pedang dan semangat.”

Tidak ada komentar: