Kamis, 26 Agustus 2010

Humanitas sebagai Solidaritas

Air mata kesedihan karena bencana Alor dan Nabire belum terseka habis. Kini air mata duka kembali mengalir karena gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara. Gelombang tsunami memorakporandakan kehidupan beberapa negara Asia dan Afrika. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan hari berkabung nasional, darurat kemanusiaan, dan bakti sosial selama tiga hari, mulai 27 Desember 2004.
Jumlah korban meninggal akibat gempa serta tsunami di NAD dan Sumatera Utara dapat mencapai puluhan ribu orang. Badan Meteorologi dan Geofisika memprediksi, gelombang tsunami yang menerjang sebagian besar wilayah pantai barat dan utara NAD masih berpeluang kembali ke wilayah itu dalam dua minggu mendatang (Kompas, 28/12/2004).
Di tengah penderitaan itu, kita melihat tunas-tunas solidaritas tumbuh dalam masyarakat Indonesia yang plural. Banyak media massa berinisiatif membuka dompet kemanusiaan. Institusi-institusi agama mendorong pemeluknya untuk mengungkapkan solidaritas terhadap korban dengan memberi bantuan kemanusiaan. Banyak rumah ibadat membuka diri sebagai tempat penampungan jenazah korban dan pengungsian bagi keluarga korban yang kehilangan tempat tinggal. Para relawan kemanusiaan domestik dan internasional mulai berdatangan untuk membantu mencari para korban yang hilang dan melakukan evakuasi korban, pelayanan medis, menyediakan bantuan logistik, dan sebagainya.
Persaudaraan umat manusia
Jon Sobrino, salah satu tokoh teologi solidaritas terkemuka dari Amerika Latin, dalam Jesus the Liberator: A Historical-Theological View (1993) dan Christ the Liberator: A View from the Victims (2001) memahami solidaritas pertama-tama sebagai tanggung jawab bersama di antara komunitas keluarga manusia sebagai praksis kasih Allah. Mereka yang tidak menjadi korban berpartisipasi dalam kelemahan dan keterbatasan korban. A necessary and sufficient condition untuk solidaritas adalah persaudaraan sebagai keluarga manusia.
Menurut Sobrino, tanpa solidaritas tidak ada kasih. Lebih lanjut, tidak ada solidaritas tanpa inkarnasi.
Dalam tragedi bencana alam, perikemanusiaan (humanitas) kita dibangunkan dari tidur. Selama ini kita sering tertidur dan tidak bereaksi terhadap penderitaan di sekitar kita. Kita lebih sering berperan sekadar sebagai pengamat dan penonton. Solidaritas mulai dengan kesediaan untuk memasang mata, telinga, mulut terhadap wajah remuk, jeritan, dan suara senyap para korban. Allah hendak memperlihatkan suara dan wajah-Nya kepada kita melalui tubuh-tubuh korban yang terserak dan korban yang mengungsi ke tempat-tempat yang lebih aman.
Keadaban publik
Hilangnya keadaban publik (public civility) merupakan halangan terbesar tumbuhnya tunas-tunas solidaritas. Ketidakadaban publik merupakan pola pandang dan perilaku umum dalam masyarakat yang mengesampingkan dan menghancurkan kesejahteraan bersama. Orang dengan gampang berpaling dari penderitaan orang lain karena merasa, penderitaan orang lain bukan menjadi persoalan dan tanggung jawab mereka. Kesadaran kita dicelikkan bahwa penderitaan yang dialami saudara-saudara di NAD, Sumatera Utara, dan beberapa negara di Asia dan Afrika itu menjadi problem dan tanggung jawab bersama keluarga manusia. Penderitaan para korban adalah penderitaan kita sebagai komunitas manusia. Kita diundang bertanggung jawab terhadap kehidupan saudara- saudari kita yang mengalami penderitaan. Kita bersama hendak meringankan penderitaan dan melindungi mereka dari ancaman kematian prematur.
Dalam bahasa teologis, suara senyap dan tubuh-tubuh korban yang terserak merupakan titik perjumpaan antara Allah dan kita. Solidaritas tumbuh ketika kita secara autentik mendengarkan seruan senyap dan tubuh para korban yang terserak. Penderitaan korban memberi pesan kepada kita sebagai komunitas manusia dan komunitas umat beriman. Kita diundang melihat harapan korban akan kehidupan di tengah suasana dunia yang ditandai kematian prematur. Kita dipanggil berpartisipasi aktif dalam harapan para korban. Kita diundang dan dipanggil menjadikan harapan korban dengan situasi mereka menjadi harapan kita.
Akar harapan itu adalah kasih. Kasih menggerakkan tangan kita sebagai komunitas manusiawi-religius untuk mengulurkan tangan kepada mereka yang terluka, kehilangan tempat tinggal, dan yang meninggal dunia karena bencana kemanusiaan. Sebagai komunitas manusiawi- beriman, kita diundang dan dipanggil memberi kesaksian komunal mengenai kasih Allah, terutama kepada mereka yang mengalami penderitaan. Beberapa pemimpin negara turut berbela sungkawa dan memberi bantuan kemanusiaan kepada negara-negara yang mengalami bencana kemanusiaan itu.
Komunitas internasional menyadari kebutuhan mendesak bantuan darurat kemanusiaan. Di Indonesia, bencana kemanusiaan di Aceh dan Sumatera Utara membuat daerah-daerah itu benar-benar lumpuh. Bencana gempa dan tsunami melumpuhkan infrastruktur listrik, jaringan telekomunikasi, dan bahan bakar minyak (BBM). Bantuan dari luar daerah mutlak diperlukan, terutama bantuan makanan, obat-obatan, dan sheltering.
Di Asia dan Afrika ada kekhawatiran menyebarnya wabah penyakit dari jenazah korban yang membusuk dan belum ditemukan. Jasad korban yang membusuk mungkin akan mencemari persediaan air bersih di Indonesia, Sri Lanka, Thailand, India, Maladewa, Malaysia, Myanmar, Banglades, dan Somalia. Genangan air laut setelah gelombang tsunami itu juga akan menyebarkan wabah penyakit malaria dan diare (Kompas, 28/12/2004).
Komunitas pengharapan
Dapatkah kehadiran kita menawarkan harapan kehidupan bagi mereka yang mengalami kematian prematur karena penderitaan? Tantangan komunitas manusia-beriman zaman ini adalah mewartakan pesan harapan, kehidupan di tengah situasi penderitaan, kematian prematur korban. Di tengah dunia yang tampak buram inilah komunitas manusiawi- beriman dipanggil sebagai komunitas pengharapan. Memang kita tidak dapat melakukan segala sesuatu. Namun, kita dapat berbuat sesuatu bagi para korban.
Solidaritas mulai dari kesadaran humanitas kita sebagai homo socius terhadap the suffering others. Lebih lanjut, solidaritas tumbuh dari praksis Allah sendiri yang berkenan menjumpai kita dalam realitas penderitaan dunia. Kesaksian bersama kita sebagai komunitas pengharapan dapat memberi penghiburan, membalut luka-luka, dan memberi inspirasi kepada jauh lebih banyak korban yang mengalami penderitaan.

The Tielman Brothers

The Beatles pun Nonton Band Rock Indonesia.
Siapa bilang musisi indonesia tak bisa menjadi pelopor dalam dunia musik tingkat internasional? The Tielman Brothers adalah jawabannya. Band rock lawas asal Maluku yang kini mulai terlupakan itu, ternyata mempunyai segudang prestasi dan berpengaruh pada kehidupan musik di Eropa terutama di Belanda. siapa bakal menjadi The Tielman Brothers berikutnya? Para rockmania Indonesia saat ini tentunya sedang membicarakan tentang kesuksesan band luar negeri dan terpesona olehnya. Sebut saja Metallica, Slipknot, Dragon Force, Korn dan lain sebagainya. Siapa yang tak kenal mereka akan dianggap kurang mengerti atau kurang gaul dalam informasi musik saat ini. Dan kalau berbicara tentang siapa bintang dan band rock tertua di dunia, dalam benak kita pasti membayangkan The Beatles, The Rolling Stones atau Elvis, Fats Domino, Bill Haley, dan lain-lain.Namun, sebenarnya ada satu band rock lawas yang terlewatkan. The Tielman Brothers namanya. Sebuah band rock yang terdiri dari 4 anak muda asal Maluku. Band yang semula bernama The
Timor Rhytm Brothers lalu berubah menjadi The Four Tielman Brothers, dengan personil empat bersaudara Tielman: Andy(lead guitar, vocal), Reggie (rhytm guitar, vocal), Phonton (double bass, vocal), dan Loulou (drums, vocal). Mereka memulai kariernya di Surabaya sejak 1945.Beruntung perjalanan karier keempat anak muda ini terbilang mulus sebab kedua orangtuanya, Herman Tielman dan Flora Lorine Hess tak cuma mendukung, tapi ikut bermain dan menjadi manager.Ditonton The BeatlesDi tahun 1956 TheTielman Brothers hijrah ke Breda, Belanda dan memulai karier rekaman di negeri kincir angin itu. Dari sanalah pada akhirnya The Tielman Brothers mulai menjajah musik rock di luar negeri dan memberikan pengaruh yang cukup dasyat di blantika musik rock pada saat itu. Penampilan mereka juga cukup memukau publik di Belanda khususnya dan Eropa pada umumnya. Bisa dibilang mereka lah yang pertama kali memulai atraksi panggung yang liar dan atraktif, seperti bermain gitar dan juga double bass sambil melompat atau berguling-gulingan
, serta tentunya demo drums.

Kepindahan mereka ke negeri Belanda dengan membawa budaya tropis dan kecintaan kepada gitar ini ternyata melahirkan “Indo-Rock” yang terkenal itu. Ciri kuat Indo-Rock adalah dominasi gitar, instrumen yang dikenalkan orang-orang Portugis saat datang ke Hindia-Belanda sekitar abad ke-14. Permainan gitar ala Portugis yang akhirnya dikenal sebagai musik keroncong ini dipadukan oleh anak-anak Maluku itu dengan musik Hawaii, country, dan rock’n'roll yang mereka dengar dari radio-radio Amerika Serikat yang dipancarluaskan dari Filipina atau Australia.

Ada beberapa fakta yang sangat mengejutkan dari band ini. Jauh sebelum publik rock terpesona dan berdecak kagum dengan permainan gila gitaris Jimi Hendrix pada tahun 1967, salah satu personil TheTielman Brothers, Andy Tielman, sang frontman telah memulai teknik tersebut pada tahun 1956 atau 11 tahun sebelum Jimi Hendrix bereksperimen dengan gitarnya. Gaya Andy dan teknik gitarnya sangat memukau. Gitar yang dipetik menggunakan gigi, kaki, jauh mendahului Jimi Hendrix.

Konon, Paul McCartney ternyata mengagumi band ini dan terinspirasi The Tielman Brothers sebelum The Beatles terkenal pada awal 1960-an. Maklumlah, The Tielman Brothers telah membawakan lagu-lagu rock n roll jauh sebelum The Beatles muncul. Saat The Beatles manggung pertama kali di Jerman, grup band asal Inggris ini sempat melihat penampilan The Tielmans Brothers yang manggung menggunakan Hofner Violin bass. Dan saat itulah untuk yang pertamakalinya Paul melihat Bass Violin Hofner. Andy Tielmans sang gitaris memakai Fender Jazz Master khusus 10 strings. Fender sengaja mengirim representative-nya ke Jerman saat itu untuk merancang gitar buat Andy Tielmans.

Di tahun 1958 TheTielmans Brothers punya 3 album yang jadi hits di seluruh dunia dan memiliki banyak Gibson Les Paul keluaran pertama yang baru di impor ke Belanda saat itu.

Dalam perjalanan sebuah band, tentunya ada kisah yang tidak menyenangkan pula, seperti halnya pergantian dan keluar masuknya personil band. Bagi The Tielman Brothers, hal itu bukanlah masalah sehingga bisa membuat band ini harus berhenti di tengah jalan. Yang ada malah prestasi yang luar biasa, dimana mereka bisa tetap eksis dan tampil di beberapa Negara di Eropa selain Belanda seperti Belgia dan Jerman.

Sayangnya, di tahun 1976 band ini dikabarkan bubar karena boleh dikatakan permainan musik mereka terkesan mandek dan tidak ada perkembangan alias kurang eksploratif. Mereka bermain musik di tataran yang itu-itu saja, dan itulah yang akhirnya membuat publik menjadi bosan. Begitupun, karya mereka sampai sekarang masih sangat digemari di luar negeri, terutama di Belanda.

Kini tinggal Andy Tielman saja yang masih eksis bermain musik dan tinggal di Belanda. Di usianya yang sudah semakin senja, Andy Tielman kini lebih banyak rekaman untuk lagu-lagu rohani dan sesekali tampil di publik Belanda dengan gitarnya. Tentu penampilannya tak bisa seliar dulu lagi. Namun pengaruh Indo-Rock dan histeria “Beatlemania” tak urung meletuskan pula revolusi musik rock Belanda pada tahun 1960-an, yang ditandai dengan kelahiran band-band Belanda yang bernyanyi dengan bahasa Inggris. Band-band yang ngetop yang ikut meramaikan persaingan di Eropa maupun dunia antara lain Golden Earring, Shocking Blue, The Outsiders, Cuby+ Blizzards, atau Focus.

--- Sumber : Googling

SEBUAH PERADABAN DARI 'BAWAH TANAH' KOTA MALANG [IV]

Setelah mengalami evolusi penting, scene cadas kota Malang melahirkan lembaran baru yang masih berlangsung dan mungkin tidak akan terputus. Sebuah era yang dimainkan oleh pelaku-pelaku muda dan menjadi intro pertama dari scene, underground, do-it-yourself, gigs, squat, serta segala kata kunci yang pernah digilai saat itu. Sebuah jaman bingung dan konyol bersama pemuda-pemuda yang masih dalam 'fase pencarian'. Egois, ambisius, penuh slogan dan bombastis. Hingga tiba-tiba logo pentagram, simbol X di tangan, lambang anarki, serta rambut pirang dan mohawk lem kayu bertebaran di mana-mana...

Era 1996 - 2000 ; Periode Penggali Tanah

Sepeninggal komunitas Gemma [Generasi Musisi Malang] sekitar tahun 1995, muncul kemudian generasi anyar yang berusia belasan tahun hadir mengisi lembaran kosong aktifitas rock dan metal di Malang. Mereka adalah anak-anak muda yang sebelumnya dibesarkan sebagai penonton, fans atau band peserta festival garapan Gemma. Mereka juga mengaku banyak belajar dari fenomena scene rock lokal selama kurun waktu sebelumnya. "Kita emang mulai kumpul pas nonton acara-acaranya Gemma itu. Kalo ada anak yang pake kaos band sangar atau ada band yang bawain lagu kenceng pasti deh kita samperin dan ajak kenalan," kenang seorang kawan lama mengingat masa-masa awal ketika mereka mulai berkumpul bersama.

Anak-anak muda itulah yang mulai mengenal idiom Underground [istilah dari pers/media bagi gerakan bermusik melalui jalur alternatif yang tidak umum dan tidak lazim] dan Do It Yourself atau D.I.Y [etos kerja yang mandiri atau swadaya]. Dari situ pula mereka mulai tahu yang namanya Scene [lingkungan komunitas yang berdasarkan kesamaan hobi, minat atau idealisme], Gigs [konser kecil] dan Squat [tongkrongan/basis]. Meskipun kadang masih dalam terminologi yang sempit dan membabi-buta. Maklum, istilah-istilah itu masih jadi 'barang baru' bagi mereka.

Spontan mereka coba mempraktekkan nilai-nilai independensi dan etika do-it-yourself dalam bermusik. Mereka mulai membuat jaringan dengan komunitas serupa yang berada di Bandung, Jakarta, Surabaya, Jogja dan Bali. Networking tersebut berhasil terbentuk dari kesamaan latar belakang, selera, trend, visi, pola pikir, serta rentang usia yang tidak jauh beda. Mereka tampak antusias bekerjasama dengan penuh rasa solidaritas dan saling mendukung tanpa ada pengkotak-kotakan. Boleh dibilang mereka adalah anak-anak muda yang mempelopori munculnya sebuah sub-kultur baru di kota Malang. Istilahnya saat itu ; Arek Underground!!!...

Bersamaan dengan evolusi musik cadas, genre-genre metal yang lebih ekstrim dan aktual seperti aliran blackmetal, deathmetal hingga grindcore jadi referensi utama bagi anak muda di jaman itu. Mereka mulai tertantang untuk bermain musik dan membentuk band baru. Lahirlah kemudian band-band dengan nama unik dan cenderung seram seperti Rotten Corpse, Perish, Sekarat, Santhet, Keramat, Genital Giblets, Grindpeace, Peti Mati, Sacrificial Ceremony, Ritual Orchestra dan masih banyak lagi.



Band-band itu awalnya tumbuh dengan memainkan lagu-lagu karya band asing [coversong], sambil sesekali mencoba menulis karya lagu sendiri. Jika ada kesempatan mereka berupaya manggung pada event parade atau festival musik yang mengharuskan setiap band membayar biaya pendaftaran. Tak jarang mereka rela patungan sambil membawa suporter dalam 'misi suci' penyebaran eksistensi serta idealisme musik mereka. Semacam 'show of force' kepada masyarakat lah istilahnya...

Beberapa pertunjukan musik yang merangkum aksi band-band underground lokal pada saat itu antara lain ; Fisheries karya mahasiswa Fakultas Perikanan Unibraw, Independent di kampus ITN, RMC garapan muda-mudi karang taruna di Singosari, serta sejumlah parade musik di GOR Pulosari dan gedung DKM. Satu kawan yang lain ikut bercerita, "Kehadiran kita di konser-konser itu selalu menarik perhatian penonton awam deh pokoknya. Ngeri kali yah mereka, soalnya penampilan kita sangar-sangar, trus selalu maju headbanging pas band-nya anak-anak manggung."

Sebagian dari anak-anak muda itu lalu membidani kelahiran sebuah komunitas underground lokal bernama Total Suffer Community [TSC] - yang embrionya sudah dicetuskan sejak pertengahan tahun 1995. Ide membuat 'klub underground' itu lahir setelah mereka melihat komunitas serupa di luar kota juga memiliki 'identitas' sendiri, seperti misalnya Extreme Noise Grinding [Ujungberung], Bandung Lunatic Underground, Blackmass [Bandung], Jogja Corpsegrinder, Bali Corpsegrinder, atau Independent [Surabaya].

Saat itu, obsesi awal TSC hanya ingin membuat konser underground yang pertama di Malang. Proyek tersebut akhirnya berhasil diwujudkan lewat event bertajuk Parade Musik Underground [PMU] di gedung Sasana Asih YPAC, pada tanggal 28 Juli 1996. PMU sendiri akhirnya sempat jadi serial gigs lokal terbesar hingga mencapai sekuelnya yang ketiga di tahun 1998 dengan mengundang berbagai band cadas dari Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Bali. Bahkan boleh dibilang, PMU merupakan landmark bagi konser-konser underground selanjutnya di Malang.

Kehadiran TSC yang dikepalai oleh Budhy Sarzo itu membuat scene musik cadas di kota Malang makin semarak. Eksistensi mereka mewarnai gaya hidup dan budaya lokal kaum muda. Anak-anak muda yang hampir selalu berkostum item-item itu seringkali terlihat bergerombol di sekitar kantor Kabupaten depan Malang Plaza, Food Center Hero Supermarket, atau di seberang Dieng Plaza pada setiap pekannya. Semacam 'black gathering' atau 'rocks on weekend'?!...

Nongkrong mingguan yang disertai sharing informasi musik itu semakin membuka wawasan mereka tentang berbagai aktifitas di dalam scene underground. Obrolan mereka saat itu tidak jauh dari tema musik cadas, band, konser, sampai pada cara-cara bikin rekaman, fanzine, serta merchandise. Kadang juga diselingi dengan ajang pinjam-meminjam kaset, menyetel video konser asing dalam format VHS, tukar-menukar kaos metal, atau sekedar 'jual-beli' stiker dan foto band.

Dari situ perkembangan musik di kancah lokal mulai berjalan lebih maju. Genre dan selera musik yang mereka terima makin beragam dan variatif. Selain deskripsi rock dan metal, sejumlah aliran musik lain seperti punk, hardcore dan industrial juga mulai mewabah. Makin lama makin banyak yang ikut nongkrong di areal TSC. Uniknya, muncul kemudian 'proses administrasi' bagi semua anggota. Setiap anggota juga didata, dikenai iuran, serta berhak mendapatkan kartu member lengkap dengan nomor induk. Halah?!...

Bertambahnya anggota baru membuat TSC merangkumnya ke dalam divisi-divisi khusus yang didasarkan atas aliran musik. Yah, mirip 'penjurusan' kalau di sekolah, lengkap dengan 'ketua kelas'-nya masing-masing. Hal itu semata-mata untuk mempermudah komunikasi bagi setiap kalangan genre musik yang ada.

Penggemar musik death metal dan grindcore tetap dominan di squat ini. Afril [Extreme Decay] saat itu masih memimpin umat black metal bersama Ipul [Santhet] dan Gayonk [Perish]. Ook [Grindpeace] memang maniak metal tapi menjadi salah pemuja musik noise dan industrial. Kalangan hardcore sepertinya dikomandoi Sandi, Doni, dan Viktor [Primitive Chimpanzee]. Sedangkan punk rock diminati oleh para personil No Man's Land dan arek-arek 'Gang Songo'. Meriah lah pokoknya...

Setiap komunitas genre itu akhirnya membuat squat-nya masing-masing. Mereka juga kerap berkumpul, berbincang dan merancang rencana untuk mengembangkan wawasan musiknya. Banyak cara yang biasa mereka lakukan seperti misalnya merancang gigs atau memesan kaset, CD, majalah musik dan kaos band favorit melalui jalur mail-order ke distributor asing.



Munculnya squat-squat kecil ternyata tidak hanya berdasarkan pada pilihan genre musik saja. Seperti maraknya tawuran geng antar kampung pada jaman itu, tidak lama kemudian muncul juga sejumlah squat yang eksis secara geografis di beberapa wilayah atau daerah penting. Awalnya mungkin anak-anak itu bertetangga, terus punya selera musik yang sama, lalu saling barter kaset, dan sering nongkrong bareng pada akhirnya. Yah, mungkin saatnya underground mulai masuk kampung dan ikut mewarnai rapat pemuda karang taruna. Hah!...

Kampung-kampung beraroma cadas mulai bermunculan di seputar kota. Sebut saja Sumbersari yang identik dengan blackmetal sehingga kerap dijuluki Triple S [Sumbersari Satan Service]. Kemudian anak-anak deathmetal dan grindcore yang bermarkas di sekitar Sanan, Bango, dan Sukun. Daerah Oro-oro Dowo [Gang Songo] dan Kotalama juga dikenal memiliki basis punk dan hardcore yang cukup kuat. Begitu juga wilayah Bareng yang sudah dikenal rock & roll sejak tempo doeloe serta mempunyai variasi genre musik yang beragam. Keberadaan squat semacam ini juga meluas hingga di kampung-kampung lain seperti Selorejo, Ketawang Gede, Dinoyo, Pakis, Singosari, Batu dan sebagainya.

Uniknya, squat yang tumbuh di sejumlah kampung itu justru produktif dan bikin scene kota Malang lebih dinamis. Beberapa di antaranya bahkan mampu membuat gigs-gigs lokal yang penting. Misalnya saja anak-anak kampung Sukun dengan gigs andalannya Chaos Sukun Live, lalu kampung Sanan dan Bango berkolaborasi bikin event musik Krisis, atau arek-arek Selorejo dengan serial gigs Ontrant-Ontrant yang masih aktif sampai sekarang dan sudah empat kali digelar. Belum lagi Pakis Parah, Singosari Bentrok, dan lain-lain.

Pada pertengahan tahun 1996 beberapa anak muda menggagas penerbitan media cetak independen dalam bentuk fanzine. Media itu dimaksudkan untuk menjaring informasi dan komunikasi yang lebih intens di kalangan publik underground. Terbitlah kemudian Mindblast, sebuah fanzine metal yang bertahan tiga edisi sampai tahun 1998. "Fanzine itu lahir dari rasa iri setelah melihat Bandung punya Revograms. Nekat aja dulu coba-coba bikin dengan modal terbatas. Pas Mindblast aktif, di Jakarta ada Brainwashed, trus Jogja juga punya Megaton. Eh, ternyata Mindblast cukup efektif juga untuk mengangkat scene Malang pada saat itu," tutur salah satu editornya.



Media sederhana berformat fotokopian semakin marak dan terus berlanjut dengan kemunculan Imbecile, Escort, Brain To Think Mouth To Speak, Kemerdekaan Zine, Ndeso Zine, serta beberapa fanzine dan newsletter lokal lainnya. Semuanya dijalankan secara ikhlas, mandiri dan swadaya. Sekedar untuk transfer informasi dan proses dokumentasi scene musik cadas. "Meskipun pada akhirnya rugi trus bubar, hehe. Gak masalah kok demi scene tercinta. Biar rame!" ujar sebagian besar anggota redaksinya.

Saat itu peran media radio juga masih aktif men-support komunitas ini. Selain Senaputra, beberapa radio swasta dan eksperimen kampus juga mulai membuka airtime-nya untuk program siaran musik keras. Salah satunya adalah radio Bhiga FM milik unit kegiatan mahasiswa Unmer Malang yang rela menampung demo-demo rekaman lokal dari Malang maupun luar kota. "Jangan malas, apalagi menunggu. Kita sendiri lah yang musti aktif datang ke radio-radio itu sambil bawa kaset-kaset demo band lokal. Kalo perlu ikut siaran!" kata Ook menceritakan pengalamannya dulu ketika bergerilya ke radio-radio untuk promo band.

Sayangnya, scene musik lokal yang sedang menghangat itu sempat mengalami 'tragedi' yang cukup menyesakkan dada. Pada tahun 1997, GOR Pulosari tiba-tiba dibongkar oleh pemerintah daerah dan dikabarkan bakal mengalami renovasi. Namun yang terjadi kemudian venue legendaris itu malah berubah menjadi ruko dan supermarket. Kejadian tidak lama setelah mahasiswa STIEKN Malang menggelar festival musik di sana - yang menampilkan Pas Band, Burgerkill, dan Forgotten dari Bandung, serta sejumlah band lokal seperti Perish dan Sekarat.

Sayang, situs rock lokal yang bernilai sejarah tinggi itu akhirnya tinggal kenangan. Menyedihkan. Alhasil frekuensi pertunjukan musik rock di Malang juga ikut merosot drastis. Proyek peralihan fungsi GOR Pulosari itu bisa dianggap sebagai salah satu dosa terbesar pemerintah daerah terhadap perkembangan seni dan musik di kota Malang. Dengan geram seorang musisi lokal pun berujar, "Root-nya musik rock di Malang itu ya dari Pulosari. Band kayak AKA, Godbless, Elpamas, sampai Slank pun pernah maen di situ. Band-band lokal juga besar dari situ. Sudah layak kalo kita protes trus menuntut pada pemerintah yang bodoh itu!..."

Beruntunglah komunitas underground dibekali etos kerja do-it-yourself yang masih bisa mendukung proses aktualisasi mereka. Mereka masih mampu merancang gigs sendiri meski dalam skala dan venue yang kecil. Buktinya berbagai jenis konser dan gigs yang dikelola secara mandiri mulai digelar di sana-sini. Kebanyakan muncul dengan judul titel acara yang unik, seperti misalnya Konflik, Spektakuler, Brotherhood, Pakis Parah, Expose, MCHC, The Sound of Fury, dan lain sebagainya.



Setelah GOR Pulosari raib, pertunjukan musik keras memang lebih sering memilih aula sekolah atau kampus sebagai venue-nya. Setiap acara biasanya mematok aksi 20 sampai 30 band dengan harga tiket antara 3000 hingga 5000 rupiah. Terkadang pihak panitia juga menyertakan band luar kota yang lumayan populer sebagai bintang tamunya, seperti Hellgods [Bdg], Slowdeath [Sby], Noise Damage [Bdg], Vexation [Bdg], Tympanic Membrane [Bdg], Demonstration Effect [Bali], Eternal Madness [Bali], Trauma [Jkt], Death Vomit [Jogja], dan lain sebagainya.

Kesalahan rocker-rocker generasi lama yang tidak mendokumentasikan karyanya dalam bentuk rekaman juga mulai diperbaiki oleh generasi saat itu. Minimnya sarana studio recording di Malang tidak bikin band lokal ketinggalan dalam proses merekam materi musik mereka. Memperbanyak jam terbang dengan manggung di berbagai daerah menjadi target mereka selanjutnya. Undangan show di luar kota disabet meski dalam budget dana yang minim atau tanpa bayaran sekalipun. Ketika itu berkarya, bikin demo rekaman dan pengalaman pentas adalah tiga hal utama yang ingin dicapai setiap band agar eksistensinya semakin diakui publik.

No Man's Land tercatat sebagai band Malang pertama yang mampu membuat demo dan memasarkannya secara gerilya kepada fans-nya. Keberanian band punk rock itu untuk merilis album Separatist Tendency menjadi sangat fenomenal. Sebab ketika itu nama mereka notabene masih sangat baru dan belum terlalu dikenal publik. Tanpa diduga, Separatist Tendency berhasil terjual laris dari tangan ke tangan dan menjadi salah satu album lokal yang klasik hingga saat ini. "Album itu direkam live selama 15 jam di studio Oase pada bulan Februari 1996. Total kami hanya menghabiskan biaya dua ratus ribu," terang Didit selaku frontman No Man's Land.



Di sektor metal, Rotten Corpse adalah nama band yang paling populer saat itu. Selain sering menjajah panggung lokal, mereka juga sempat diundang manggung di berbagai kota mulai dari Surabaya, Bandung, sampai Jakarta. Nama mereka mulai diakui secara nasional setelah tampil pada sejumlah pentas underground yang fenomenal di jaman itu, seperti Bandung Underground #2 [1996], Total Noise Jakarta [1996], dan Bandung Berisik #2 [1997].

Setelah merilis demo secara independen, Rotten corpse akhirnya rekaman di studio Natural [Surabaya] dan menghasilkan album Maggot Sickness. Rilisan berformat kaset yang diproduksi Graveyard Production itu termasuk sukses untuk skala pasar metal yang sempit. Rekaman tersebut bahkan sempat dirilis ulang oleh sebuah label dari Malaysia untuk pasar distribusi di Asia Tenggara. Kesuksesan Maggot Sickness baik secara kualitas musik maupun reaksi publik untuk sementara ini masih dianggap sebagai patok tertinggi dalam sejarah rilisan album metal lokal dari Malang. Album ini bahkan masuk dalam deretan 20 Album Rock Revolusioner di Indonesia yang dimuat pada majalah MTV Trax2 edisi Agustus 2004.

Sejumlah band lokal yang lain juga mulai aktif dalam proyek rekaman dan panggung. Contohnya Sekarat berhasil merilis dua album independen, serta sempat manggung di Bali, Sidoarjo dan Surabaya. Kemudian Perish dengan debut album From The Rising Dawn yang penjualannya mencapai sold-out. Gayonk dkk bahkan sempat menjadi nama yang fenomenal bagi scene black metal di negeri ini. Mereka diundang tampil di Jogja, Bandung, Jakarta, hingga Denpasar. Nasib baik juga dialami Ritual Orchestra yang show-nya merambah hingga ke luar Jawa dan albumnya laris manis hingga di pasaran internasional.

Kemunculan label-label rekaman lokal seperti Confuse Records, Bittersounds, Raw Tape, atau Youth Frontline membuat scene kota Malang makin bergairah. Beberapa rekaman band lokal yang sempat beredar pada jaman itu antara lain ; Keramat "Approximate Death", Bangkai "For What?!", Extreme Decay "Bastard", Mystical "Sawan Bajang", HorridTruth/Boisterous "Split", Antiphaty "W.A.R", No Man's Land "Punk Rock & Art-School Drop Outs", Don't Regret "Violence Cause", Stolen Vision "They Makes Me Stronger", The Babies "Malang City Punk Rocker", dan masih banyak lagi.



"Gila, sampai orang-orang di kota lain juga pada heran. Banyak banget yah rilisan dari band-band Malang?!" ungkap sorang kawan menyatakan kekagumannya. Ini tidak lepas dari peran Ook yang saat itu mengelola Confuse Records dan sering merilis berbagai demo lokal untuk dipasarkan ke penjuru nusantara. Bayangkan satu etalase atau satu lapak pun bisa penuh hanya dengan stok demo-demo rekaman lokal Malang. Usaha sablon dan merchandise juga ikut berkembang mewarnai scene ini. Tiap band mulai memproduksi kaos, emblem, pin, atau stiker. Gus Dinn dan Ook lalu mempelopori munculnya distro pertama di Malang yaitu Abstract, yang kemudian berubah nama jadi Smash Shop.

Setelah mengoyak pasar nasional, giliran band lokal coba merambah pasar internasional. Mereka mulai melakukan kerjasama bilateral dengan jaringan label atau band di luar negeri melalui koresponden [ya, surat-menyurat via pos!]. Usaha tersebut ternyata cukup menuai hasil. Beberapa band sempat dikontrak label asing dan rilisannya dipasarkan sampai ke mancanegara. Upaya tersebut termasuk brilian dan patut dibanggakan. Setidaknya mereka turut mengharumkan nama Indonesia di peta scene underground internasional.

Extreme Decay adalah salah satu contoh band yang aktif dalam berbagai proyek kompilasi dan split-tape internasional. Mereka pernah bekerjasama dengan grupband Agathocles [Belgia], Demisor [S'pore], dan Parkinson [S'pore], serta berbagai label distribusi di Eropa dan Amerika. No Man's Land juga sempat merilis split-tape dengan Karatz [M'sia] yang didistribusikan di asia tenggara. Antiphaty, Ritual Orchestra dan Perish juga pernah merasakan nasib serupa dalam proyek kompilasi internasional.

Jika indikasinya adalah berkarya, maka selama rentang tahun 1996 - 2000 boleh disebut sebagai masa paling produktif bagi scene underground Malang. Banyaknya karya rekaman lokal yang disertai dengan rutinitas gigs, eksistensi media serta label independen menjadi bukti nyata produktifitas mereka. Sungguh fenomena yang aneh dan membanggakan. Mengingat cukup banyak keterbatasan yang ada pada jaman itu. Namun mereka tetap bisa berjalan dengan cap ganjil dari para orang tua dan masyarakat awam. Tanpa dukungan dari pihak korporat atau industri mayor. Nyaris tanpa ekspos media, apalagi internet belum populer. Ditambah juga sarana dan referensi yang sangat minim. Namun toh anak-anak muda itu mampu bekerja secara mandiri dan aktif memanfaatkan jaringan untuk menghasilkan karya yang maksimal. Sejak era ini pula scene kota Malang mulai dianggap sebagai salah satu basis underground yang cukup aktif, penting dan disegani oleh publik nasional. And they can makes their own history..

--- Sumber : WWW.APOKALIP.COM

SEBUAH PERADABAN DARI 'BAWAH TANAH' KOTA MALANG [III]

Sumber : Apokalip.com

Era '90-an sering disebut sebagai masa terbaik dan 'golden ages' dalam scene rock & roll di manapun. Sekaligus merupakan dekade yang paling kejam serta membingungkan. Lahirnya berbagai [sub]genre rock hingga yang paling bungsu sekalipun. Serbuan arus tehnologi dan informasi hiburan. Invasi media, MTV dan benih internet. Serta transisi wacana dan 'pembaptisan' sebuah generasi baru. Berikut separuh dekade pertama dari scene rock kota Malang!...

Periode Pemotong Rumput [1990 - 1995]

Memasuki era 90-an, musik rock digeber lebih ekstrim ketika berbagai tipe musik metal seperti heavymetal, speedmetal maupun thrashmetal dipuja-puja oleh kawula muda kota Malang. Metallica, Megadeth, Kreator, Slayer, Sepultura, Testament, Anthrax, Iron Maiden, Overkill sampai Helloween sudah bagaikan 'pahlawan' dan 'orang tua' baru bagi mereka.

Denyut nadi band-band lokal masih berdetak dengan maraknya ajang parade dan festival musik lokal yang dipelopori komunitas Generasi Musisi Malang [Gemma]. Musik keras selalu jadi sajian utama, yang bahkan mampu merambah pentas-pentas umum di sekolah dan kampus. Agak berbeda dengan kondisi sekarang, di mana acara musik malah dipenuhi oleh band-band yang 'so-called-indie' atau band top-40.

Di awal era 90-an, ada sejumlah band lokal yang cukup 'happening'. Dye Maker [into Kreator] atau Gusar [into old Sepultura] dikenal gagah dan sering jadi headliner di setiap pentasnya. Lalu ada Mayhem [into Kreator/Necrodeath] yang dalam aksi panggungnya kerap memanggil arwah Micky Jaguar sambil meminum darah kelinci. Darkness, yang hampir selalu mengkover lagu andalan She's Gone [Stellheart] mencuri perhatian lewat atraksi sang gitaris yang selalu memainkan gitar pakai gigi pada sesi solonya.

Kemudian Nevermind yang doyan mengusung lagu kover dari Metallica, di mana Ravi [sekarang gitaris Extreme Decay & Berry Prima] masih main drum di band ini. Sementara Primitive Symphony sudah menjajal musik cepat dan intens ala Napalm Death dan Brutal Truth. Beberapa nama lain seperti Epitaph, Abstain, Megatrue, Resek, atau Orchestration Foolish juga cukup aktif dalam pentas dan sudah mulai menulis lagu sendiri, meskipun tidak semuanya berhasil direkam menjadi demo.


Aktifitas dan gaya hidup arek-arek penggila musik cadas juga mulai tampak di setiap akhir pekannya. Mereka kerap nongkrong di areal lapak kaset bajakan serta stand lukisan foto amatir di deretan toko buku Siswa, daerah alun-alun kota Malang. Dandanan mereka cukup khas dan mudah dikenali. Rambut gondrong, kaos hitam, jins ketat dan sepatu kets yang dipadu dengan asesoris kalung, anting atau gelang metal. Rawkz!

Di jaman scene musik lokal yang belum mengenal distro apalagi merchandise band, anak-anak muda itu sudah mulai menggemari fashion rock/metal. Kaos-kaos bergambar band pujaan menjadi kostum wajib untuk nonton konser atau sekedang nongkrong bareng. Tetapi saat itu bukanlah produk impor seperti halnya yang dipakai anak-anak sekarang. Mereka biasanya membeli produk domestik dari Bandung, Surabaya atau Jakarta. Tidak peduli kaos band bermerek C59, HR Prod, atau More Shop asalkan berdesain band favorit pasti dilahap!...

Tapi ada yang menarik ketika beberapa orang merasa kurang puas dengan kaos-kaos band yang ada di pasaran. Kaos impor mungkin terlalu mahal bagi mereka yang notabene masih pelajar, mahasiswa atau pengangguran. Pembelian via mail-order pun masih asing di telinga mereka. Sebagai alternatifnya, mereka bikin kaos sendiri cara dilukis [bukan disablon!]. Nama kakak beradik, Tanto dan Dwi, saat itu dikenal sebagai seniman muda berbakat yang sering menerima order melukis kaos band. Konsumen bisa memilih sendiri model desainnya sesuai keinginan, pasti ekslusif dan cuma dibikin satu biji. Jangan heran kalau dulu ada kaos Dismember, Disharmonic Orchestra, Pestilence, Pungent Stench, Messiah, atau Greenday dengan gambar disain yang tidak umum, bahkan janggal dan gak masuk akal!...

Saat itu rekaman album rock dan metal asing terbilang cukup banyak beredar di pasaran Indonesia. Untuk yang satu ini, kita musti berterima kasih pada perusahan distributor Indo Semar Sakti, dengan label stiker 'trash'-nya di box kaset. Sedangkan untuk rekaman-rekaman klasik yang terbilang langka dan tidak dirilis di Indonesia kita terpaksa harus mempercayakan kepada produser kaset bajakan. Tidak seperti sekarang yang lebih mudah karena bisa order langsung atau download via internet.

Bicara soal kaset bajakan, dulu hanya dengan uang tiga ribu perak arek Malang sudah bisa membawa pulang rekaman-rekaman klasik seperti Napalm Death Scum, Kreator Pleasure To Kill, AMQA Mutant Cats From Hell, D.R.I Crossover, atau Death Scream Bloody Gore. Hampir semuanya adalah bajakan dari label VSP Malaysia, dengan kover selembar foto reproan [tanpa sleeve apalagi lirik!] serta kualitas rekaman yang tidak terlalu bagus.

Informasi aktual tentang musik cadas juga hanya bisa mereka penuhi lewat media-media tradisional [sekali lagi, belum ada internet saat itu!]. Salah satu media yang cukup terbuka dan ikut mendukung progres musik rock saat itu adalah radio Senaputra. Stasiun radio yang ber-frekuensi AM itu hampir setiap hari memutar lagu dan informasi seputar musik keras.

Pada jam-jam siaran yang bising itulah Senaputra kerap ditongkrongi oleh anak-anak muda. Mereka datang membawa kaset rekaman, me-request lagu, dan tiba-tiba memasang marga 'Cavalera' atau 'Petrozza' di belakang namanya. Cukup klasik, unik dan lucu. Nama-nama udara seperti Antok Schenker, Budi Sarzo, Ivan Petrozza, Johan Cavalera, Andri Teaz, Ujik Obituary, Adin Murmur, Tepi Sepultura, atau Momon Ventor menjadi akrab di telinga pendengar setia radio tersebut.

Di balik meja studio siaran Senaputra, sosok Ovan Tobing adalah nama paten yang mengasuh setiap program musik keras di radio itu. Beliau dikenal memiliki figur dan wibawa yang kuat di kalangan publik rock kota Malang. Pria yang akrab dipanggil Bung Ovan ini juga spesialis MC untuk beberapa konser rock penting di Jawa Timur, seperti pada serial Festival Rock Log Zhelebour, Sepultura [1992], sampai Helloween [2004].

Pamor Senaputra sebagai radio yang konsen pada musik rock memang cukup melegenda. Mungkin sama halnya dengan radio Mustang [Jkt] atau GMR [Bdg]. Sejumlah musisi mulai dari Godbless, Elpamas, Power Metal, Nicky Astria, hingga Rotor dan Tengkorak pernah menyempatkan berkunjung ke radio tersebut dalam rangka promo maupun wawancara on-air. Dan belum lama ini, Burgerkill serta Seringai masih sempat diundang talkshow di Senaputra.

"Wah, ini pertama kalinya kita diwawancarai ama radio frekuensi AM. Salut, masih ada juga ternyata," komentar Ebenz [gitaris Burgerkill] heran ketika diundang talkshow di Senaputra, Juli 2006 lalu. "Malah radio ini yang pertama kali dapet dan muterin rekaman lengkap materi album baru Beyond Coma and Despair yang justru belum kami rilis!" Sadisnya, Senaputra juga jadi stasiun radio terakhir yang sempat mewawancarai mendiang vokalis Burgerkill, Ivan Scumbag, sebelum meninggal dunia tiga pekan kemudian. Ugh!


Hingga sekarang, program musik keras di radio yang dikenal memiliki koleksi lagu-lagu rock yang lumayan langka dan klasik ini masih terus berlanjut. Gaya siaran yang unik, 'old school' dan berkarakter 'Arema' masih dipertahankan oleh stasiun radio yang sejak awal 2007 sudah berpindah gelombang ke frekuensi FM itu. Selain Senaputra, pada saat itu juga ada beberapa radio eksperimen yang beroperasi secara gelap dan amatir, serta kerap memutar lagu-lagu cadas meski dalam jadwal siaran yang tidak teratur.

Berbagai pertunjukan musik rock tetap membahana di kota Malang. Selain festival musik yang hanya diisi band-band lokal, beberapa pertunjukan skala besar juga masih menghebohkan. Kota Malang tetap diserbu aksi musisi rock sekelas Slank, Elpamas, Dewa, Power Metal, Mel Shandy hingga rocker-rocker regional macam Andromeda, Red Spider atau Kamikaze.

Salah satu momen rock terpenting di Jawa Timur, khususnya bagi para metalhead, adalah konser Sepultura di stadion Tambaksari, Surabaya [1992]. Band asal Brasil itu datang di waktu yang tepat, saat masyarakat sedang demam thrashmetal dan Sepultura adalah favorit bagi banyak anak muda. Ribuan arek metal Malang berangkat menuju Surabaya, dan bergabung bersama puluhan ribu penonton menyaksikan event garapan Log Zhelebour Production yang juga menampilkan Mel Shandy dan Power Metal sebagai opening act tersebut.

Memasuki era pertengahan 90-an, komunitas Gemma mulai mengalami konflik internal dan tidak terlalu aktif lagi. Imbasnya, sebagian besar band angkatan awal seperti kehilangan motor penggerak semenjak Gemma non-eksis. Dye Maker dan Mayhem perlahan hilang tanpa kabar. Gusar juga bubar dan hanya menyisakan sebuah rekaman demo latihan studio [rehearsal]. Selebihnya band-band yang lain memilih untuk tidak aktif, vakum, atau membubarkan diri tanpa menghasilkan karya apapun. Sayang, setelah sekian lama menggemakan musik keras, tampaknya revolusi band-band 'Angkatan Gemma' musti berakhir di sini. Menyedihkan...

Kemudian lahir satu kondisi yang menarik pada peta musik cadas kota Malang. Ini mirip seperti slogan 'destroy, erase, improve'. Seakan-akan ada reinkarnasi penting dari sisa-sisa generasi sebelumnya. Beberapa musisi berusia muda nekat 'menghancurkan' euforia masa lalu. Mereka mengumpulkan kekuatan kembali dan hadir dalam wacana serta selera yang lebih anyar. Anak-anak muda itu punya satu visi yang lalu dituangkan dalam gerakan bermusik, bikin band baru, serta merancang konsep musik yang lebih aktual.

Seperti personil Orchestration Foolish yang bikin band baru dengan musik yang lebih brutal lagi dengan nama Rotten Corpse. Primitive Symphony memilih ber-transformasi menjadi Bangkai serta memantapkan diri di jalur grindcore yang ngebut ala Napalm Death atau Brutal Truth. Lalu Abstain yang membubarkan diri dan merancang band deathmetal, Malignant Covenant, yang kemudian bernama Sekarat. Sejumlah band baru juga lahir, seperti misalnya Genital Giblets [eks Brutality], UGD, Kurusetra, Clinic Death, Syaitan, dan masih banyak lagi.


Informasi musik makin berkembang dan variatif melalui invasi media radio, majalah Hai, atau MTV. Arek-arek Malang juga mulai mengenal variasi [sub]genre yang lain. Hal ini dibuktikan lewat eksistensi band-band baru seperti Grindpeace [industrial-metal], Ritual Orchestra [blackmetal], No Man's Land [punk], Ingus [punk/HC], Santhet [blackmetal], Obnoxious [punk], dan masih banyak lagi.

Anak-anak muda inilah yang kemudian banyak mengisi halaman musik cadas lokal sejak sekitar tahun 1994. Mereka notabene masih berstatus pelajar atau mahasiswa tingkat awal dan justru lebih aktif serta dominan dalam aktifitas scene musik lokal. Tak heran kalau pertunjukan musik [parade/festival] saat itu lebih banyak digelar di wilayah kampus atau sekolah. Parade musik Fisheries di Unibraw dan Independent di kampus ITN adalah serial music-fest yang cukup populer, serta selalu menampilkan aksi band-band beraliran cadas.

Separuh dekade pertama '90-an menjadi masa transisi bagi para pelaku aktifitas scene musik di Malang. Sekilas tampak seperti kembali ke titik nol dan menjadi sebuah pengulangan sejarah. Sejak satu generasi sudah melupakan mimpinya menjadi rockstar dan musti kembali pada kehidupan nyata seperti bekerja atau berkeluarga. Hingga akhirnya satu tunas baru lahir dan nekat menciptakan 'dunianya' sendiri. Mereka adalah anak-anak muda yang dulu hanyalah segerombolan penonton yang duduk diam di tribun. Mereka mulai berani tampil di front depan membawa wacana dan pola pikir bermusik yang jauh berbeda dari sebelumnya. Ya, generasi telah berganti dan komando telah diambil alih..

--- Sumber : WWW.APOKALIP.COM

SEBUAH PERADABAN DARI 'BAWAH TANAH' KOTA MALANG [II]

Sumber : Apokalip.com

Sekarang kita menuju pada iklim panas kota Malang di tahun 80-an. Ketika rock & roll masih sanggup 'menampar' keras fenomena disko dan new wave. Bahkan musik rock mulai terdengar lebih heavy dan ekstrim. Berikut catatan singkat dan sekilas pandang tentang progresi budaya serta komunitas musik cadas dari bumi arema...

Periode Pemukul Batu & Logam [1980-an]
Memasuki dekade delapanpuluhan, embrio band-band lokal lebih banyak dimunculkan oleh kaum pelajar serta mahasiswa di wilayah sekolah dan kampus. Salah satunya adalah Bhawikarsu yang didirikan oleh para pelajar SMAN 3 Malang. Kelompok musik beraliran jazz-rock yang dipelopori Wiwie GV itu bahkan jadi semacam home-band di sekolah tersebut. Wiwie GV kemudian membentuk Gank Voice bersama Wahyu [vokal], yang juga dibantu oleh sejumlah musisi berbakat, termasuk gitaris Totok Tewel [Elpamas].

Saat itu, Gank Voice termasuk kelompok yang cukup populer di Malang. Mereka sering diundang tampil dalam berbagai pentas musik dan festival band hingga ke luar kota. "Jaman dulu kita udah pernah diundang manggung ke Kalimantan, dikasih tiket pesawat dan dibayar tiga juta!" ungkap Wahyu GV. Konon Gank Voice juga sempat ditawari kontrak rekaman dan promo tur oleh Loggis records. Sayangnya kesempatan langka tersebut tidak diambil karena mereka memilih untuk menyelesaikan bangku kuliah terlebih dahulu. Band ini kemudian bubar di tengah jalan, dan ber-transformasi menjadi Arema Voice, band yang menciptakan lagu anthem Singa Bola untuk kesebelasan Arema.

Sementara itu dengung musik rock semakin keras, dan metal mulai mewabah. Band-band anyar yang beraliran hardrock, heavymetal ataupun speedmetal mulai bermunculan. Band asing seperti Van Halen, Judas Priest, Iron Maiden, Anthrax, Metallica, Motley Crue, atau Helloween jadi favorit dan pengaruh penting di kalangan anak muda. Hampir semua remaja di Malang hanya punya dua pilihan sederhana; suka musik rock, atau tidak suka musik sama sekali!

GOR Pulosari masih tetap jadi artefak penting dalam hikayat rock & roll lokal. Tak kurang dari Ikang Fawzi, Power Metal, Gito Rollies, Deddy Stanzah, Iwan Fals, Nicky Astria, Ita Purnamasari, Slank, hingga Dewa 19 sempat merasakan sakralnya venue tersebut. Dewa 19 dan Slank tercatat beberapa kali manggung di sana dan tidak pernah sukses. Bahkan Ita Purnamasari dan Nicky Astria pernah pulang menangis setelah menjalani 'show yang kejam' di venue itu. Bukti bahwa 'keangkeran' Pulosari masih tetap langgeng...

"Jaman dulu, konser rock itu sangat jarang sehingga selalu jadi momen spesial dan tidak boleh dilewatkan," kenang Bang Jun, seorang veteran penggila musik rock. "Jauh sebelum hari H-nya, semua orang mulai dari musisi sampai fans udah siap-siap dandan pol ala rockstar idola. Biasanya mereka meniru foto-foto atau poster yang ada di majalah Aktuil. Sampai-sampai mereka datang sendiri ke penjahit sambil membawa poster dan bilang kalo mo mesen pakaian seperti yang dipake David Bowie, Alice Cooper, atau Mick Jagger!'

Pada hari pertunjukan, ratusan penonton dengan dandanan hebohnya mulai berduyun-duyun berjalan kaki menuju venue. Mereka langsung mengantri di loket tiket maupun di pintu masuk dengan gemuruh ala penonton sepakbola. Sesampainya di dalam venue, anak-anak muda itu langsung serius menyimak panggung, bersenang-senang, dan siap 'mengadili' performance setiap band yang tampil di situ. Kejam!

Menjelang akhir dekade '80-an, terjadi perkembangan yang signifikan pada peta musik cadas kota Malang. Gemma [Generasi Musisi Muda Malang] muncul sebagai komunitas yang aktif menggelar pertunjukan musik lokal di kota ini. Selain GOR Pulosari, gedung DKM [Dewan Kesenian Malang] di daerah Comboran ikut menjadi alternatif venue yang lain.

Salah satu momen rock yang jadi highlight pada jaman itu adalah serial festival rock yang dimotori oleh promotor eksentrik dari Surabaya, Log Zhelebour. Event itu hampir selalu menempatkan Malang sebagai salah satu kota tempat pertunjukan yang penting. Ajang festival tersebut turut mendongkrak nama grupband lokal, Balance, yang masuk dalam album kompilasi 10 Finalis Rock Festival V produksi Loggis Records [1989].

Sedangkan pertunjukan rock yang paling legendaris adalah konser Godbless dalam rangka tur album Raksasa di Stadion Gajayana [1989]. Show tersebut cukup akbar, megah dan terbilang sukses. Puluhan ribu penonton memenuhi arena rumput dan disuguhi sound system berkekuatan besar - yang bahkan menurut masyarakat sayup-sayup masih terdengar di setiap sudut kota Malang.

Pada putaran generasi band lokal, muncul nama-nama baru seperti Dye Maker, Mayhem, atau Gusar. Ketika itu mereka masih sibuk di studio latihan, menyanyikan lagu-lagu kover, dan manggung di pentas-pentas festival. Bagi kebanyakan band, main musik pada jaman itu memang hanya sebagai hobi pengisi waktu luang semata. Mereka masih memilih untuk memainkan lagu-lagu favorit dari band asing, serta belum terpikir untuk serius berkarir di bidang musik. Setelah beberapa kali latihan dan merasa kompak, mereka biasanya segera mendaftar untuk ikut festival atau pentas musik lokal yang memang sangat marak saat itu.

Di jaman pra-MTV itu, musik rock dan metal sudah mulai mendapatkan ekspos yang 'memukul' di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia, tak terkecuali di Malang. Setiap kejadian dan berita musik juga terpublikasikan dengan baik. Media massa bahkan sempat mengklaim kota Surabaya dan Malang sebagai barometer musik rock di tanah air. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada peran seorang Log Zhelebour dan proyek-proyeknya sebagai motif utama di balik klaim tersebut - di samping tentunya pertumbuhan band lokal beraliran keras yang kian menjamur, serta antusiasme crowd lokal yang dikenal cukup 'buas'.

Sekali lagi terbukti, musik cadas tetap menampakkan taringnya di dekade yang penuh warna-warni ini. Sayangnya kejadian-kejadian rock di jaman itu tidak terdokumentasikan dengan baik. Sehingga cukup sulit untuk sekedar mencari selembar foto, apalagi rekaman audio atau video. Namun dari 'dongeng para veteran' bisa disimpulkan bahwa gembar-gembor era 80-an sebagai jaman disko/new wave nyaris tidak terasa di kota Malang. Yang berlaku saat itu justru musik rock tetap menjadi raja, dan heavy metal adalah panglima!...

Sebuah peradaban dari bawah tanah kota malang 1

Sumber : Apokalip.com

Benarkah kota Malang sudah rock & roll sejak tempo doeloe? Seperti apa iklim scene musik dan komunitas penggemar musik keras di wilayah lokal pada jaman baheula? Siapa saja pionir yang bertanggungjawab atas 'kecadasan' di kota dingin ini? Ini catatan historis tentang perkembangan budaya musik cadas dan komunitasnya di kota Malang. Halaman pertama dari peradaban lokal seni musik dan revolusi rock & roll yang masih terus bekerja...

Periode Pemecah Es [1970-an]

Sebenarnya benih-benih rock & roll di kota Malang sudah muncul sejak awal era '60-an, ketika bocah berusia sebelas tahun, Abadi Soesman, untuk pertama kalinya membentuk grupband bernama Irama Abadi, 1 April 1960. Masyarakat dunia saat itu sedang dihinggapi wabah musik rock & roll yang dipelopori oleh Elvis Prestley, Chuck Berry, dan The Beatles. Trend tersebut menyeberang ke Indonesia dan ikut meracuni selera anak-anak muda negeri ini.

Namun seperti yang kita ketahui, memainkan musik rock pada era orde lama masih dianggap tabu. Bentuk kesenian yang kebarat-baratan sangat dibatasi geraknya. Para musisi dan seniman otomatis susah berkembang serta makin terpojokkan. Rezim pemerintah terus mendorong masyarakat untuk menjauhi musik rock. The Beatles dilarang, bahkan Koes Plus dipenjara. Rambut panjang diharamkan, dan musik rock disebut 'musik setan'.

Anak-anak muda yang berniat untuk main musik dicap tidak punya masa depan. Mereka hampir selalu dilecehkan oleh para generasi tua, terutama calon mertua. "Dulu, pemusik adalah derajat paling rendah, dan sedikit naik tingkat setelah heboh narkoba," ungkap Abadi Soesman ketika diwawancarai Kompas, November 2006 lalu.

Malang hanyalah kota kecil yang jauh dari gemerlap industri musik seperti halnya Jakarta. Banyak remaja yang ingin sekedar main band, namun terganjal pada sarana alat musik yang mahal dan terbatas. Beberapa grup musik baru bisa berlatih dan manggung setelah didanai oleh perusahaan besar. Sebut saja nama Bentoel band atau Oepet band, yang disponsori pabrik rokok terbesar di Malang. Sejumlah band lainnya seperti Zodiak, Panca Nada, Arulan, atau Swita Rama, rata-rata juga milik perusahaan tertentu. Iklim bermusik seperti itu dirasa cukup menyedihkan serta kurang menjanjikan bagi para musisi lokal.

Selera kuping arek-arek Malang pada jaman dulu tidak pernah bergeser jauh dari genre musik keras - mulai dari yang bernuansa hardrock, slowrock, folk-rock, art-rock atau psychedelic rock sekalipun. Komposisi musik seperti yang dimainkan Led Zeppelin, Genesis, Rolling Stones, Janis Joplin, The Doors, Uriah Heep, Yes, Deep Purple, Rainbow, Pink Floyd, Rush, atau Queen adalah beberapa nama paten yang sangat digilai anak muda Malang.

"Dulu semua band di Malang memang rock. Saya dan Ian Antono punya filosofi yang sama, dan kami bersatu karena musik rock," tutur Abadi Soesman seraya menyebut nama salah satu legenda musik rock kelahiran Malang yang paling terkenal hingga sekarang.

Ian Antono lahir di Malang, 29 Oktober 1950, dengan nama asli Yusuf Antono Djojo. Sewaktu kecil ia sempat memegang instrumen ketipung dalam suatu band bocah beraliran melayu. Ian yang saat itu menyukai lagu-lagu dari The Shadows atau The Ventures, kemudian memperkuat band keluarga Zodiacs bersama kakak-kakaknya.

Pada tahun 1969, Ian hijrah ke Jakarta bersama Abadi Soesman dan bermain musik di Hotel Marcopolo. Dua tahun kemudian ia kembali ke Malang untuk bergabung dengan band Bentoel sebagai pemain drum, yang lalu beralih ke gitar. Saat itu ia mengaku terpengaruh oleh Deep Purple, Alice Cooper, Jethro Tull, Edgar Winter, dan James Gang - serta meniru segala gaya mereka mulai dari penampilan fisik, kostum, aksi panggung, bahkan sampai ke cara bermusiknya.

Bentoel kemudian menjadi salah satu kelompok musik rock yang paling populer di kota Malang. Barisan yang dimotori vokalis Micky Jaguar dan drummer Ian Antono itu terkenal eksentrik dan selalu penuh kejutan. Pada tahun 1972, mereka diundang tampil membuka konser Victor Wood di Gelora Pancasila, Surabaya. Dalam kesempatan tersebut, Micky Jaguar melakukan atraksi panggung yang sensasional. Sembari menyanyikan lagu John Barlecon [Traffic], ia menyembelih seekor kelinci dan meminum darahnya. Gara-gara atraksinya itu, ia terpaksa berurusan dengan pihak berwajib.

Sayangnya Bentoel tidak berumur panjang dan tidak sempat merekam apa-apa. Pada tahun 1974, Ian Antono diminta Ahmad Albar untuk kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Godbless. Di kelompok itu, Ian mulai coba-coba menulis lagu dan menata musik untuk album Huma di Atas Bukit [1976]. Baginya, ada semacam proses transformasi dari sekadar bermain menuju ke tahap penciptaan. Hingga kemudian nama Ian Antono juga dikenal sebagai penulis lagu dan penata musik untuk sekitar 400-an lagu yang dimainkan Godbless, Duo Kribo, Ucok Harahap, Nicky Astria, Iwan Fals, Anggun Cipta Sasmi, hingga Grace Simon.

Sementara itu, bubarnya Bentoel memaksa vokalis Micky Jaguar bergabung dalam Ogle Eyes, grup musik yang juga diperkuat oleh mantan personil Giant Step [Bandung], keyboardist Jocky Soerjoprayogo dan drummer Sammy Zakaria. Ia juga sempat memulai karir solonya dengan merekam album bertitel Metropolitan [Prawita records]. Pada rilisan tersebut, ia berduet dengan Sylvia Saartje di lagu yang berjudul Wanita. Saat ini, kaset solo Micky Jaguar menjadi barang langka dan collector item yang bernilai tinggi.

Nama sang ladyrocker, Silvia Saartje, tentu cukup populer bagi penggemar musik rock lokal. Penyanyi rock kelahiran Arnheim [Belanda] yang bermukim di Malang ini sempat tenar lewat singel Biarawati ciptaan Ian Antono. Di kala manggung, perempuan ini selalu memakai kostum yang agak seronok dan menghebohkan. Salah satu pentasnya yang paling diingat publik Malang adalah ketika membantu Elpamas dalam mengkover lagu Pink Floyd yang terkenal sangat rumit, The Great Gig In The Sky. Selama karirnya, Sylvia Saartje telah menelurkan tujuh buah rekaman. Ia juga sempat tampil sebagai penyanyi dalam film Kodrat garapan Slamet Raharjo. Beberapa tahun terakhir ini, namanya terkadang masih mondar-mandir mengisi program musik rock dan blues di sebuah stasiun televisi.

Selama era '70-an, beberapa musisi lokal mulai terpikir untuk hijrah ke ibukota. "Dulu, Jakarta itu seperti luar negeri," kenang Abadi Soesman. Sebagai pusat industri, Jakarta memang menarik dan lebih terbuka bagi peluang karir di bidang musik. Mitos klasik bahwa musisi daerah kalau ingin sukses musti hijrah ke ibukota memang tidak bisa dipungkiri, dan hampir benar adanya. Sentralisasi industri musik nasional malah cenderung melanggengkan keabsahan rumus yang terkadang masih berlaku hingga sekarang itu.

Sementara evolusi rock & roll di kota Malang terus berjalan. Band-band baru bermunculan dari berbagai ajang festival dan parade musik lokal. Aksi mereka juga selaras dengan kebiasaan band rock nasional generasi awal - seperti Cockpit [Jakarta], Trencem [Solo] Godbless [Jakarta], Giant Step [Bandung] atau AKA/SAS [Surabaya] - yang lebih sering membawakan karya lagu musisi luar dan cenderung malas menulis lagu sendiri. Makanya hanya sedikit sekali rekaman album bahkan sekedar demo yang dirilis pada jaman itu.

Selera pasar dan kebiasaan musisi yang terlalu 'memuja band asing' itu akhirnya memberi imbas di setiap pertunjukan musik. Penonton hampir selalu menuntut band yang tampil di panggung untuk bermain 'persis kaset' istilahnya. Mereka hanya ingin mendengar lagu favoritnya dan tidak peduli pada lagu ciptaan musisi lokal. Akibatnya, hanya sedikit band yang mau menulis dan mengusung karya ciptaannya sendiri. Selebihnya tidak ada jalan lain kecuali tampil sempurna membawakan lagu kover yang jadi favorit penonton.

Kondisi di atas membuat sejumlah band lokal menjadi band spesialis yang identik dengan band asing panutannya. Misalkan saja Micky Jaguar layaknya seorang Mick Jagger dengan gaya urakan ala Ozzy Osbourne. Bahkan Sylvia Saartje sempat dianggap titisannya Jonis Joplin. Hingga musisi yang lebih yunior macam Elpamas yang hanya akan mendapat aplaus jika membawakan komposisi dari Pink Floyd.

"Wah, sejak dulu Malang itu kota yang paling ditakuti ama band-band Jakarta. Penontonnya kritis, salah dikit aja langsung ditimpukin!" ujar Jaya, gitaris grupband Roxx yang sempat ditemui penulis saat event Soundrenaline 2004 di Stadion Gajayana Malang. "Malah dulu belum layak disebut rocker kalo belum pernah konser di Malang. Emang terbukti, aura rock-nya masih terasa banget sampe sekarang!"

Sudah banyak kisah musisi rock lokal maupun nasional yang coba 'menaklukan' hati dan telinga penonton Malang yang terkenal agak liar dan suka rusuh. Sebagian memang cukup berhasil, namun lebih banyak di antaranya yang gagal total. Band yang tidak mampu memuaskan penonton akan sangat beruntung jika hanya mendapat cemooh dan caci-maki saja. Sebagian malah bernasib lebih buruk, menerima lemparan benda-benda aneh dari penonton dan dipaksa turun dari panggung.

Sejak era '70-an, tempat pertunjukan [venue] yang sering dipakai ajang konser rock adalah GOR Pulosari yang terletak di bilangan jalan Kawi. Desain arsitektur gedung tersebut cukup unik dan sangat 'bawah tanah' sekali. Venue itu dibangun pada cerukan tanah yang dalam, serta dikelilingi tribun kayu yang mengelilingi panggung besar di bawahnya. Konstruksi seperti itu menjadikan GOR Pulosari sebagai hall yang kedap suara, serta dianggap memiliki akustik yang cemerlang untuk sebuah pertunjukan musik. Sejumlah nama mulai dari Panbers, Trencem, Bentoel, Cockpit, Sylvia Saartje, hingga Godbless sudah pernah menjajal GOR Pulosari yang dikenal sangat prestisius untuk konser musik rock.

Cockpit termasuk band yang sempat mendulang histeria massa ketika tampil di Pulosari. "Wah, dulu kalo Cockpit manggung bawain lagunya Genesis, vokalis Freddy Tamaela gak perlu nyanyi lagi, sebab penonton satu gedung udah nyanyi semua saking hapalnya!" cerita beberapa orang lawas yang pernah mengalami serunya pertunjukan musik lokal tempo doeloe. Di lokasi yang sama, Micky Jaguar pernah meminum darah kelinci dan langsung ditahan aparat begitu turun dari panggung. Boleh dibilang, manggung di GOR Pulosari bisa menjadi pengalaman terbaik atau yang terburuk bagi setiap musisi manapun.

Angkernya venue yang berkapasitas 5000 penonton itu juga diamini oleh Viva Permadi alias Wiwie GV, seorang musisi/aranjer asal Malang. Dalam wawancaranya dengan Kompas [12 November 2006], ia menganggap GOR Pulosari ibarat pengadilan publik untuk menilai sukses atau tidaknya sebuah band ketika manggung. Ia terkenang sewaktu Godbless manggung di sana pada tahun 1979. Penonton ketika itu tidak puas dengan penampilan Ahmad Albar dkk. Mereka lalu mengamuk dan melempar apapun ke arah panggung. Akhirnya ia mengambil kesimpulan, kalau sebuah band pentas di Malang sampai tidak rusuh, berarti grupband itu berhasil.

Pada dasarnya, dekade '70-an telah mencatat suatu babak awal yang seru dari evolusi rock & roll di kota Malang. Munculnya berbagai aktifitas band dan musisi rock, pertunjukan musik, penonton konser yang seru [dalam konotasi yang aman maupun rusuh!], atau sekedar hura-hura urakan ala anak muda telah membuka wacana baru bagi masyarakat awam. Perlahan, publik mulai mengenal konsep 'rock & roll' baik secara musikal, penampilan, maupun pola pikir. Stigma dan dogma kuno telah mencair. Atau mungkin akan membatu kembali dalam suasana yang lebih baik di masa yang selanjutnya...

rute terjal menuju woodstock

Pada bulan Agustus 1969, berlangsung sebuah 'konferensi' hippies ugal-ugalan yang penuh dengan hentakan rock & roll dan sikap kontrakultura. Meledak di antara tebaran bunga, cinta dan ganja. Saatnya kembali menyimak bagaimana ide, rencana dan kerja keras di balik kejadian itu. Sebuah perjalanan berliku menuju 'surga kecil' bernama Woodstock - yang menyisakan banyak cerita, semangat dan inspirasi...

Suatu hari di akhir bulan Desember 1968, Michael Lang [24 tahun] memasuki kantor Capitol Records di New York sambil membawa seberkas proposal. Lang adalah pemuda eksentrik yang jarang memakai sepatu dan menjadi manajer grup band Train. Maksud kedatangannya adalah untuk mencari kontrak rekaman bagi kelompok asuhannya itu.

Di salah satu ruangan kantor tersebut, duduk seorang pria bernama Artie Kornfeld [25 tahun] yang menjabat sebagai wakil presiden Capitol Records. Ruangannya selalu jadi tempat favorit bagi musisi yang menginginkan kontrak rekaman serta berharap albumnya bisa terjual jutaan kopi. Kesibukan Kornfeld yang lain adalah menulis lagu sekaligus memproduseri band The Cowsills. Ia telah menulis sekitar 30 singel hit, termasuk lagu Dead Man's Curve yang direkam oleh Jan and Dean.

Lang yang tahu kalau Kornfeld pernah tinggal sekampung dengannya di Bensonhurst, Queens, langsung membuat janji bertemu dan mengatakan pada resepsionis Capitol bahwa ia adalah tetangga Kornfeld. Sejak pertemuan itu Lang dan Kornfeld mulai berteman baik.

Suatu ketika, Lang berkunjung ke apartemen Kornfeld di New York dan mereka berbincang banyak sepanjang malam. Dua pemuda itu mulai menjajaki kemungkinan kerjasama. Salah satu ide mereka adalah membuat semacam ledakan kultural, pertunjukan musik besar atau extravaganza. Ide lain yang sempat terpikir saat itu adalah membangun studio rekaman.

Mereka langsung teringat pada Woodstock, suatu lahan luas yang letaknya 100 mil dari Manhattan. Mereka yakin tempat itu mampu merefleksikan semangat 'Back To The Land' dalam suatu isu budaya tandingan. Apalagi Woodstock juga dianggap semacam Mekkah-nya para ikon rock & roll terkenal. Di era '60-an para musisi seperti Bob Dylan, Tim Hardin, Van Morrison, Jimi Hendrix dan Janis Joplin sempat pindah atau bekerja di daerah itu.

* * * * *

John Roberts [26 tahun] dan Joel Rosenman [24 tahun] bertemu secara tidak sengaja saat mereka menjalani kursus golf di musim gugur 1967. Sejak itu mereka menjadi dua sahabat, bahkan tinggal seapartemen. Keduanya ingin memproduksi sebuah program acara komedi situasi untuk stasiun televisi. "Itu seperti suatu komedi kantoran tentang dua lelaki yang lebih mempunyai banyak uang daripada isi dalam tempurung otaknya," jelas Rosenman. "Setiap minggu mereka berdua memulai suatu bisnis baru, namun hasilnya selalu berantakan."

Untuk merealisasikan ide produksi sitkom tersebut, pada bulan Maret 1968 mereka memasang iklan di Wall Street Journal dan The New York Times. Di dalam redaksional iklan itu tertulis ; "Pemuda dengan modal tak terbatas mencari kesempatan investasi dan kemungkinan usaha bisnis yang menarik."

Mereka akhirnya mendapatkan banyak respon balasan dari ribuan pelamar. Mulai dari tawaran usaha bola golf, sepeda es buatan Eropa, dan bermacam bisnis lainnya. Roberts dan Rosenman akhirnya pusing dan menyerah. Mereka menghapus impian produksi acara televisi dan segera beralih pada sektor usaha wiraswasta. "Bagaimanapun, kita telah menjadi karakter dalam show kita sendiri," ujar Rosenman sedih.

Di waktu yang sama, Lang dan Kornfeld sedang mencari modal untuk bikin festival musik dan studio rekaman. Mereka belum pernah sekalipun membaca iklan yang dipasang oleh Roberts dan Rosenman. Hingga suatu kali pengacara mereka merekomendasikan Lang dan Kornfeld untuk segera menemui dua pemuda kaya-raya tersebut.

* * * * *


Ke-empat pemuda itu bertemu untuk pertama kalinya pada bulan Februari 1969. "Kami bertemu di apartemen mereka di 83rd Street," kisah Lang. "Mereka seperti dua pemuda yang naif. Mereka berpakaian sangat rapi, memakai jas dan kemeja. Artie yang banyak berbicara saat itu, sebab mereka tampaknya bingung dengan wacanaku. Mereka cukup penasaran dengan isu budaya tandingan, dan tampak sangat tertarik dengan proyek ini. Mereka menginginkan sebuah proposal tertulis yang sayangnya tidak kami bawa saat itu. Lalu kami sampaikan bahwa pada pertemuan selanjutnya akan kami siapkan proposal lengkap dengan anggarannya."

Pada pertemuan kedua, Lang menyodorkan anggaran dana untuk proyek Woodstock sebesar 500.000 dollar AS dengan target 100.000 penonton. Mereka berempat mulai bersemangat akan proyek ini. Pembahasan makin menjurus pada hal-hal tehnis dan operasional konser.

Hingga akhirnya pada pertemuan ketiga di bulan Maret 1969, proyek pertunjukan rock & roll terbesar itu resmi diketok. Mereka berempat sepakat untuk bekerjasama dan membikin Woodstock Ventures Inc, di mana masing-masing memiliki saham sebesar 25 persen.

Sebenarnya ini termasuk proyek nekat. Di antara mereka berempat hanya Lang yang pernah memiliki pengalaman dalam produksi konser musik. Ia pernah ikut membidani lahirnya Miami Pop Festival [1968], suatu festival musik yang berlangsung selama dua hari dan sukses menarik 40.000 penonton.

Roberts yang merupakan lulusan University of Pennsylvania akan lebih banyak menyuplai dana, karena ia adalah jutawan pewaris pabrik farmasi. Pengalamannya akan musik sangatlah minim. Bahkan ketika itu ia mengaku hanya sekali menonton pertunjukan musik, yaitu konser The Beach Boys.

Sedangkan Joel Rosenman adalah pemuda yang baru lulus dari sekolah hukum di Yale. Pada tahun 1967 ia sempat pegang gitar dan mengamen bersama sebuah band lounge dengan berkeliling motel mulai dari Long Islands sampai Las Vegas.

Hingga hari ini, ke-empat orang itu tidak pernah sepakat tentang siapa sebenarnya yang datang dengan konsep orisinil konser Woodstock. Lang dan Kornfeld mengatakan bahwa Woodstock memang sejak awal direncanakan sebagai suatu festival musik terbesar yang pernah ada. Lang bahkan mengaku telah memulai pencarian lahan pertunjukan sejak musim gugur 1968 - jauh sebelum ia bertemu ketiga partner-nya yang lain.

Sedangkan Roberts dan Rosenman menyatakan bahwa mereka berdua yang melatarbelakangi festival tersebut. Sebab awalnya Lang dan Kornfeld lebih tertarik untuk investasi di bidang studio rekaman - dengan suatu pesta pribadi yang mengundang para kritikus rock & roll serta pihak eksekutif perusahaan rekaman.

Roberts dan Rosenman lalu memilih gagasan pesta dan sedikit merubahnya menjadi konser musik rock. "Kami berempat telah bersepakat," ujar Rosenman. "Bahwa kami akan membuat sebuah pesta besar, dan keuntungannya digunakan untuk membuat studio rekaman."

* * * * *

Woodstock Ventures kemudian mencari tempat sebagai lokasi pertunjukan. Mereka sempat menemui sejumlah agen real estate untuk menemukan lahan yang bisa disewa dalam jangka pendek. Lang dkk ketika itu ditawari sebuah lahan milik Howard Mills, Jr seharga 10.000 dollar AS yang terletak di daerah Town of Wallkill.

"Saat itu hari Minggu di akhir bulan Maret," ujar Rosenman. "Kami pergi ke Wallkill dan melihat sebuah kawasan industri. Kami lalu berbicara dengan Howard Mills dan mulai mencapai beberapa kata sepakat."

Meski Wallkill sebenarnya masih kurang ideal untuk rencana konser mereka. "Sayang, atmosfirnya kurang tepat. Wilayah itu adalah kawasan industri," ujar Roberts agak ragu. "Tapi setidaknya kita telah memiliki kepastian lahan untuk Woodstock."

Mills Industrial Park yang seluas 300 hektar itu sebenarnya memiliki akses yang sempurna. Jaraknya tidak sampai satu mil dari Route 17, jalur utama transportasi penghubung New York State. Tempat itu juga mempunyai sarana yang lengkap, termasuk saluran listrik dan air. Meski sebenarnya lahan itu termasuk zona wilayah industri, namun ijin yang diajukan Lang dkk adalah untuk pelaksanaan konser musik dan eksebisi budaya.

Rosenman ditugasi melobi pihak pemerintah setempat. Ia mengatakan bahwa pertunjukan ini hanya akan dimeriahkan oleh band jazz dan musisi folk saja, serta paling banyak hanya meraup 50.000 penonton. Namun seorang pejabat daerah, Jack Schlosser, sempat curiga akan rencana tersebut. Ia kurang yakin dengan perhitungan penyelenggara, dan menganggap Rosenman sedang mengada-ada serta tidak tahu apa yang sebenarnya mereka kerjakan.

Sementara itu, Lang bersama Kornfeld mulai merancang konsep, imej dan nilai-nilai luhur yang akan ditiupkan Woodstock. Sejalan dengan atmosfir budaya, sosial dan politik yang terjadi di AS saat itu, mereka merasa cukup penting untuk menebarkan topik kebebasan dan perdamaian sebagai isu utama dalam pertunjukan ini.

Sejak awal April 1969, mereka sudah menyebarkan promosi dan iklan ke berbagai media, termasuk majalah Rolling Stone dan Village Voice. Harian The New York Times dan The Times Herald Record juga memuat iklan Woodstock di edisinya bulan Mei.

Bagi Kornfeld, Woodstock bukan sekedar panggung besar, aksi musisi terkenal atau tiket yang laris terjual bak kacang - event ini merupakan wujud kebebasan berpikir, suatu kejadian yang akan selalu mempengaruhi wacana sebuah generasi.

Publisitas Woodstock selalu dirancang dengan menyajikan simbol-simbol budaya tandingan, lengkap dengan kampanye perdamaian serta menolak segala bentuk kekerasan. Mereka mencanangkan kalimat "Three Days ofPeace and Music" sebagai slogan festival ini.

Poster orisinil Woodstock dibuat oleh seorang seniman bernama Arnold Skolnick. Logo Woodstock awalnya bergambar seekor burung kucing [catbird] yang bertengger pada sebuah suling. "Waktu itu saya memang senang menggambar burung kucing. Namun setelah mengetahui festival itu disebut dengan Arnold Skolnick Three Days of Peace and Music, saya akhirnya memakai merpati. Suling juga saya tukar dengan gitar," tutur Skolnick.

Satu pekerjaan penting lainnya adalah mencari musisi agar mau tampil di Woodstock. Musisi pertama yang dikontak Lang adalah Melanie Safka. Saat ditawari, dengan entengnya Safka langsung menjawab, "Oh tentu." Namun, belakangan Safka sangat terkejut karena Woodstock ternyata bukanlah festival kecil seperti yang dia bayangkan sebelumnya.

Sedangkan untuk mem-booking musisi dan band besar yang dibutuhkan oleh Lang dkk saat itu adalah kredibilitas. Mengingat nama mereka masih baru dan belum berpengalaman maka hanya ada satu cara untuk meyakinkan, yaitu dengan menawarkan bayaran terbesar bagi musisi tersebut.

Jefferson Airplane yang biasanya paling mahal di-booking sebesar 6.000 dollar AS, ditampar dengan tawaran 12.000 dollar AS. Hal yang serupa juga dilakukan pada Creedence Clearwater Revival [11.500 dollar AS] dan The Who [12.500 dollar AS]. "Kami harus menggaet tiga band besar dan saya tak peduli berapa harganya. Jika mereka minta 5.000 dollar AS, kasih saja 10.000 dollar AS. Ini namanya kredibilitas," tegas Lang.

* * * * *

Suatu hari di antara akhir April atau awal Mei 1969, Allan Markoff [24 tahun] melihat dua orang asing berjalan memasuki tokonya. Mereka adalah Lang beserta Stan Goldstein [35 tahun]. Goldstein adalah teman lama Lang yang pernah terlibat dalam Miami Pop Festival 1968, dan menjadi koordinator urusan camping ground untuk Woodstock nanti.

"Mereka datang dan ingin tata suara untuk sekitar 50.000 sampai 150.000 penonton. Sampai tahun 1969, tidak pernah ada konser yang dihadiri lebih dari 50.000 orang. Mereka gila!" tukas Markoff.

Pilihan mereka pada Markoff disebabkan karena ia satu-satunya sound engineer lokal yang tercatat dalam majalah Audio Engineering Society. Markoff sendiri sudah memulai usaha toko peralatan audio-nya sejak tahun 1966 di Middletown.

Markoff masih ingat karakteristik sound yang dinginkan Lang dkk saat itu. Mereka minta level amplifier yang paling rendah sekaligus harus mampu membuat sakit telinga pada penonton yang berdiri di depan speaker dalam jarak kurang dari 10 kaki!

Sementara Rosenman dan Roberts terobsesi akan dokumentasi film yang bisa menggambarkan aktifitas akhir pekan suatu konser musik. Jauh sebelum Woodstock, dokumentasi rock berarti hal yang tidak penting serta profit yang kecil. Namun video Monterey Pop yang baru dirilis tahun 1968 telah mampu mencapai box office, dan memberi motivasi untuk pembuatan film sejenis.

Mereka menjatuhkan sasarannya pada sutradara muda berbakat Michael Wadleigh [27 tahun]. Wadleigh saat itu telah memiliki reputasi sebagai sutradara dan kameramen untuk sejumlah film independen. Ia sudah banyak merekam kehidupan jalanan dan budaya di era '60-an, serta pernah membuat film otobiografi tokoh-tokoh penting seperti Martin Luther King Jr, Bobby Kennedy dan George McGovern.

* * * * *



Masyarakat Wallkill sudah dapat mengidentifikasi proyek Woodstock ini. Gambaran sebuah konser rock bagi mereka adalah pemandangan kaum hippies, keributan dan lingkaran drugs. Dalam benak mereka, rambut panjang dan gaya hippies yang eksentrik selalu diasosiasikan dengan arus politik sayap kiri atau pengguna obat terlarang. Penduduk pun mulai protes serta menolak rencana pesta barbar tersebut.

Pada bulan Juni 1969, Goldstein diutus hadir dalam rapat daerah yang membahas rencana Woodstock. Masalah mulai merebak, pihak birokrat dan warga setempat menyatakan penolakannya atas rencana konser tersebut. Imbasnya terkena pada sang pemilik lahan, Howard Mills, yang mulai sering diintimidasi. Ia sering mendapat teror telpon gelap dan diancam akan dibakar rumahnya. Bahkan tetangga sekitarnya mulai ikut menyalahkan dan memusuhi keluarga Mills.

Sementara itu publikasi Woodstock sudah beredar luas. Iklannya termuat di koran-koran, majalah dan stasiun radio di seputar Los Angeles, San Francisco, New York, Boston, Texas dan Washington, D.C. Tiketnya yang seharga 8 dollar AS per-hari dan 24 dollar AS untuk terusan tiga hari pertunjukan bahkan sudah bisa dipesan publik.

Namun konflik antara Woodstock versus birokrat lokal telah mencapai babak akhir. Pada tanggal 15 Juli 1969, pemerintah daerah Wallkill secara resmi melarang festival Woodstock dilangsungkan di wilayahnya. Alasannya karena rencana penyelenggara dianggap belum lengkap dan persyaratannya masih kurang.

"Saya benci Wallkill," tegas Lang. Sejak awal ia sebenarnya merasa kurang yakin akan kondisi Wallkill. Daerah itu dianggap tidak cocok dengan nuansa 'Back To The Land' yang ingin mereka jual pada calon penonton. Apalagi Wallkill mulai diselimuti berbagai konflik politis dan sosial yang akan sangat berpotensi mengundang keributan. Mau tidak mau mereka musti mencari alternatif tempat yang lain.

* * * * *

Seorang seniman gay, Elliot Tiber, mendengar kabar bahwa festival Woodstock mengalami masalah di Walkill. Ia segera menelpon kantor Woodstock Ventures Inc dan langsung berbicara dengan Lang. Tiber coba menawarkan relokasi tempat konser dengan bantuan ijinnya.

Tiber adalah pengelola motel El Monaco yang sudah ia operasikan selama 12 tahun. Selama itu Tiber selalu mengijinkan berbagai pertunjukan musik dan seni untuk diadakan di lahannya. Ia bahkan merubah kasinonya menjadi sinema underground, tempat bagi penggiat sinema amatir untuk memulai dan belajar tentang bisnis film secara cuma-cuma.

Tiber merupakan warga Bethel yang sangat antusias dengan segala hal yang berbau seni. Namun tidak seorang pun di wilayah tersebut yang merespon baik aktifitasnya. Warga setempat terlalu sibuk membenci Tiber beserta kumpulan hippies-nya yang dianggap gerombolan kaum nomaden, homoseksual, dan lesbian.

Sejak awal Tiber sudah berniat membantu merealisasikan proyek Woodstock yang dicetuskan Lang dkk. Apalagi jabatannya sebagai President of the Bethel Chamber of Commerce selama beberapa tahun tentu akan melancarkan proses realisasi festival itu. Ia bahkan siap merelakan 15 hektar tanahnya untuk dipakai sebagai tempat pertunjukan.

Namun Lang menganggap lahan milik Tiber masih terlalu sempit dan sarananya kurang lengkap. Seketika Tiber teringat pada sobatnya si penjual susu, Max Yasgur, yang memiliki lahan paling luas di daerah itu. "Oh ya, kenapa kita tidak melihat tanah teman saya, Max Yasgur? Orang ini sudah lama menjual susu dan kejunya kepada kami. Ia memiliki tanah pertanian yang luas di daerah Bethel!..." seru Tiber penuh semangat.

Lahan itu digambarkan Tiber mirip seperti sebuah ampitheatre alam dan hanya dipenuhi sapi-sapi yang berkeliaran. "Saya yakin Max bisa memindahkan sapi-sapi itu ke dalam pekarangan rumahnya untuk sementara. Selama ini Max selalu mendukung teater kami. Dia juga suka musik. Ayo, mari kita tanyakan padanya!" ujar Tiber antusias.

Max Yasgur dikenal sebagai warga yang baik dan terpercaya di daerah Sullivan County. Ia pernah kuliah di New York University dan belajar hukum real estate. Sekitar tahun '40-an ia kembali mengurusi tanah warisan keluarganya di daerah Maplewood, yang kemudian ia jual dan memutuskan pindah ke Bethel. Sepanjang tahun '50 hingga '60-an Yasgur telah berhasil membangun industri susu yang terbesar di wilayah Sullivan County.

"Oh, ada apa ini Elliot? Apakah festivalmu tidak berjalan lagi?" jawab Yasgur gusar saat ditelepon Tiber bahwa ada orang yang berminat menyewa tanahnya sebesar 50 dollar AS per-hari untuk sebuah festival yang akan dihadiri 5000 orang. Saat itu Yasgur belum bisa memutuskan dan menyuruh mereka datang melihat lokasinya terlebih dahulu.

Tidak lama kemudian, Lang dan Tiber sudah berdiri di atas tanah Yasgur. "Ajaib, ini sempurna! Ada sebuah danau pada latar belakangnya!...", seru Lang girang setelah melihat sendiri lahan luas milik keluarga Yasgur. Negosiasi harga langsung dibicarakan saat itu juga.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Lang dan Tiber membawa anggota panitia lainnya dengan mengendarai delapan buah limosin untuk melihat lahan baru calon lokasi Woodstock. Yasgur cukup terpesona dengan penampilan mereka, hingga dalam sekejap ia langsung menaikkan harga sewa lahannya. Negosiasi berjalan cukup alot dan menghasilkan kesepakatan harga yang mereka rahasiakan sampai sekarang.

Pada tanggal 20 Juli 1969, stasiun radio WVOS yang sudah mengetahui rumor tersebut langsung menyiarkan kabar perpindahan lokasi Woodstock ke daerah White Lake. Masyarakat setempat juga sudah mendengar berita itu dan menyebutnya sebagai 'Woodstock Hippie Festival'.

Belajar dari pengalaman birokrasi di Wallkill, Lang dkk tidak ingin gegabah lagi. Mereka menegaskan pada pemerintah daerah Bethel bahwa festival ini hanya akan meraup paling banyak 50.000 penonton. "Ya, terpaksa saya harus memanipulasinya," ujar Lang tentang prediksi jumlah penontonnya. "Sebenarnya saya merencanakan ini untuk seperempat juta orang, tapi kami tidak ingin membuat masyarakat menjadi khawatir."

* * * * *

Lang dkk kembali melanjutkan perburuan band dan musisi untuk Woodstock. Sejak awal mereka menganggarkan 15.000 dollar AS untuk setiap musisi. Sejumlah nama sudah dipegang dan sepakat, namun pihak manajemen Jimi Hendrix ternyata meminta lebih. Hendrix memang yang termasyhur pada saat itu. Dalam sebuah show-nya di California, sang dewa gitar itu bahkan dibayar 150.000 dollar AS.

"Lalu kami tawarkan 32.000 dollar AS untuk Hendrix. Dia akan jadi headliner yang menutup Woodstock. Akhirnya dia sepakat dengan harga tersebut." Ujar Rosenman yang terpaksa merahasiakan kesepakatan nominal itu. "Kami katakan pada yang lain bahwa Hendrix akan bermain dua set dengan harga masing-masing 16.000 dollar AS. Kami harus melakukan kebohongan ini, atau Airplane akan minta lebih dari 12.000 dollar AS."

Lang segera menyiapkan kontrak untuk semua musisi penampil. Joan Baez akan bermain di hari pertama, Jum'at 15 Agustus. Musik rock & roll disediakan hari khusus sepanjang Sabtu dan Minggu. Satu-satunya aksi Hendrix adalah sebagai penutup Woodstock, dan tidak akan ada musisi lain yang tampil setelahnya. Total Lang dkk menghabiskan 180.000 dollar AS hanya untuk anggaran honor musisi dan band.

Bob Dylan adalah satu-satunya musisi terkenal yang belum masuk dalam kontrak mereka. Saat itu Lang yakin bahwa Dylan akan datang dengan sendirinya, sebab kelompok musik pendukungnya, The Band, sudah dipastikan akan tampil di Woodstock. Apalagi rumah Dylan terbilang cukup dekat, hanya 70 mil dari Bethel.

Beberapa pekan sebelum festival, Lang bersama Bob Dacey malah sempat mendatangi rumah Dylan di Ulster County. "Kami mengobrol selama beberapa jam. Saya mengundangnya ikut dalam konser, tapi ia akhirnya tidak pernah datang. Apa alasannya, saya tidak tahu." tutur Lang.

* * * * *

Penduduk Bethel bukannya tidak tahu kekhawatiran masyarakat Wallkill sebelumnya akan festival ini. Problem kaum hippies, drugs, lalu lintas dan air tetap menjadi topik protes mereka. Lang dkk akhirnya memilih untuk membayar segala pungutan bahkan termasuk menyuap pejabat lokal agar proses ijin konser berjalan lancar, dan mendapat restu dari birokrat maupun masyarakat setempat.

Seorang penduduk Bethel, Abe Wagner [61 tahun] mendapat kabar bahwa tiket Woodstock sudah terjual sebanyak 180.000 lembar. Padahal festival itu masih akan digelar dua minggu lagi. Ia segera mendekati masyarakat setempat untuk mencari dukungan protes dan membuat petisi penolakan festival Woodstock.

Ketika itu Wagner takut bakal terjadi migrasi kaum hippies besar-besaran dan menimbulkan kerusuhan di Bethel. Ia lebih khawatir lagi setelah membaca iklan di majalah yang menulis ; 'Datanglah ke Woodstock dan lakukan apa yang kamu suka tanpa ada yang menghalangimu!'

Sebagian penduduk bahkan siap menempuh jalur hukum untuk membatalkan festival tersebut. Namun 800 orang yang telah menandatangani petisi penolakan itu merasa dikecewakan oleh pejabat daerah Bethel, Daniel J. Amatucci, yang tidak menggubris surat protes mereka.

"Amatucci tidak memberitahu kami hingga seminggu sebelum festival," ingat Wagner. "Ia hanya berbalik dan membuangnya ke tempat sampah tanpa menyimaknya sama sekali." Namun Amatucci mengaku telah membaca surat itu, dan ia hanya mengatakan pada Wagner bahwa semuanya sudah terlambat.

Tekanan, intrik dan protes makin menghantam kubu Lang dkk. Di awal Agustus 1969, Tiber mendapat telepon gelap dari seseorang yang mengancam kelangsungan konser dan nyawa para penyelenggara. Ia yakin teror yang kotor itu berasal dari golongan anti semit dan anti hippies.

* * * * *

Sepekan sebelum festival, lahan pertanian Yasgur tidak tampak seperti sebuah venue pertunjukan musik. "Mereka seperti sedang membangun rumah besar, yang lengkap dengan landasan helikopter," ujar Art Vassmer, seorang pria pemilik toko serba ada di Bethel.

Sementara Goldstein menjajaki kerjasama dengan The Hog Farm, sebuah komunitas para indian peternak babi di California yang dipimpin oleh Hugh Romney alias Wavy Gravy. Rencananya, The Hog Farm akan dijadikan pemandu sekaligus panutan bagi penonton Woodstock berkaitan dengan aktifitas di camping ground.

"Kami butuh kelompok tertentu yang bisa diteladani penonton. Kami percaya bahwa gagasan tidur di alam terbuka akan sangat atraktif bagi orang-orang. Sekalipun kami sadar bahwa mereka yang datang belum pernah tidur beratapkan bintang sepanjang hidup mereka. Kami akan membuat sebuah pengalaman istimewa yang bisa mereka bawa pulang dan akan selalu menjadi kenangan." ujar Goldstein.

Pada tanggal 7 Agustus 1969, Lang dkk mencoba menarik hati penduduk Bethel. Di saat pangung utama sedang dibangun, panitia mengadakan pertunjukan gratis untuk penduduk setempat. Grup band Quill diundang tampil menghibur masyarakat yang duduk bergerombol di atas rumput.

Kelompok teater Earthlight juga ikut beraksi dalam 'pesta rakyat' tersebut. Mereka tidak memainkan karya klasik seperti Shakespeare atau yang lainnya. Earthlight malah menyajikan komedi musikal berjudul Sex, Y'all Come yang banyak mengumbar penari telanjang, dan membuat penonton shock.

Di waktu yang sama, sekelompok oposisi tetap bersikeras mencari strategi untuk menghentikan Woodstock. Mereka merencanakan bikin aksi barikade manusia di sepanjang jalan sebelum festival tersebut digelar.

Tiber yang mendengar bocoran informasi tersebut langsung menuju sebuah stasiun radio nasional. Di sana ia mengabarkan bahwa ada sebagian pihak yang akan mengganggu festival ini, namun [calon] penonton tidak perlu khawatir sebab Woodstock dijamin akan terus berjalan.

"Saya tidak dapat tidur nyenyak. Sekitar jam dua pagi saya terbangun karena mendengar bunyi klakson dan gitar. Saat itu masih Selasa pagi. Saya melihat ke luar dan ternyata penonton sudah mulai berdatangan." kata Tiber yang semakin yakin bahwa Woodstock akan tetap berlangsung.

* * * * *

Saat persiapan Woodstock sudah mencapai tahap final, Kornfeld mulai memberi tawaran yang tidak dapat ditolak pada perusahan film Warner Brothers. Dua hari sebelum festival mereka telah bersepakat untuk memproduksi video Woodstock.

Kornfeld mengaku ia hanya butuh 100.000 dollar AS untuk membiayai produksi film yang 'diperankan' oleh Woodstock itu sendiri. Ia ingin segala bentuk akting, cahaya, dialog dan plot adalah orisinil apa adanya yang terjadi di festival tersebut.

"Michael Wadleigh sedang menunggu di lokasi konser bersama [Martin] Scorsese," kisah Kornfeld. "Yang mereka butuhkan adalah uang untuk produksi film. Surat kontrak akhirnya ditulis tangan dan saya tandatangani bersama Ted Ashley [Warner Brothers]."

Kornfeld lalu meyakinkan Wadleigh, "Sebentar lagi akan ada ratusan ribu orang di sekitar lokasi ini. Kamu hanya perlu ambil gambar dengan biaya 100.000 dollar AS dan kamu mungkin akan menghasilkan jutaan dollar. Kalaupun [konser] berubah menjadi rusuh, kamu tetap akan menghasilkan karya dokumenter terbaik yang pernah dibuat."

Wadleigh langsung menyiapkan sekitar 100 kru dari New York Film Scene, termasuk calon sutradara terkenal Martin Scorcese. Ia merancang skenario Woodstock sebagai sebuah perjalanan sejarah bagi para hippies yang mengkritik Perang Vietnam. Ia juga akan menggambarkan kondisi kehidupan penduduk lokal di sekitar lokasi festival.

Wadleigh ingin menjadikan rock & roll sebagai eksperimentasi sikap atas kondisi sosial dan politik yang terjadi di masa itu. Ia akan mengambil gambar dan frame yang bervariasi agar video-nya lebih berkesan, dan tidak sekedar menampilkan hura-hura musik atau pesta hippies semata. Wadleigh bahkan bersedia mengorbankan tabungannya sebesar 50.000 dollar AS untuk membuat film itu sebaik-baiknya.

* * * * *

Kamis siang, 14 Agustus 1969, jalan-jalan sudah mulai ramai dan padat. Kemacetan lalu lintas yang masif terjadi sepanjang puluhan mil dari lokasi pertunjukan. Tentu saja, mereka adalah calon penonton Woodstock yang datang dari berbagai belahan AS.

Hari itu lokasi pertunjukan juga sudah dipenuhi lebih dari 25.000 orang. Penyelenggara mulai panik dan segera menambah jumlah sarana seperti dapur, saluran air serta toilet darurat. Mereka juga merekrut tambahan personil sebagai petugas medis dan sekuriti. Setiap panitia ditandai dengan secarik kain di lengan dan password rahasia yang berbunyi 'I Forget'.

Sejumlah kios merchandise juga mulai dibuka untuk publik. Mereka menjual berbagai macam souvenir khas kaum hippies serta atribut dengan simbol dan slogan kontrakultura. Sebagian kru panitia juga membangun panggung alternatif yang berukuran lebih kecil daripada main stage.

Ken Babbs, pemimpin komunitas Pranksters yang direkrut membantu pelaksanaan Woodstock, bertugas menjadi MC di panggung kecil yang terbuka bagi siapa saja yang ingin tampil. Perangkat sound system yang dipakai di panggung tersebut merupakan pinjaman dari grup band The Grateful Dead.

Ketika itu rakyat AS masih larut dalam euforia perayaan pesawat ulang-alik Apollo 11 yang berhasil mendaratkan Neil Armstrong sebagai manusia yang pertama kali berjalan di bulan. "Di saat Neil Armstrong berhasil membuat langkah besar bagi umat manusia, di sini kami juga sedang membuat langkah raksasa untuk bangsa Woodstock, " tegas Babbs.

* * * * *

Ide gila, obsesi nekat dan kerja keras yang revolusioner itu akhirnya terwujud. Festival Woodstock resmi digelar mulai hari Jum'at 15 Agustus 1969 tepat pukul 17.07 di Sullivan County, Bethel, negara bagian New York, AS - dan tidak pernah berhenti sampai Senin siang 18 Agustus 1969!...

Sederet musisi beraksi di atas panggung dan memimpin 'ritual rock & roll' bagi ratusan ribu penonton - mulai dari Joan Baez, Ravi Shankar, Santana, Grateful Dead, CCR, Janis Joplin, The Who, Jefferson Airplane, Joe Cocker, Johnny Winter, hingga 'sang malaikat' Jimi Hendrix.

Selama empat hari, venue itu menjadi sebuah 'negara mini' dengan populasi 450.000 orang penduduk bangsa Woodstock. Mereka bergandengan tangan melancarkan gagasan kontrakultur serta menghalalkan kebebasan berpikir, narkotika dan cinta. Di sana mereka telah menyimpulkan wacana kebersamaan, serta standar hidup yang damai, jujur dan anti kekerasan.

Festival yang menghabiskan biaya lebih dari 2,4 juta dollar AS itu membuat kemacetan lalu lintas yang parah di negara bagian New York. Hal itu bikin penduduk marah besar dan pemerintah setempat bersumpah tidak akan pernah lagi mengijinkan pertunjukan sejenis.

Selama Woodstock berlangsung, 5.162 orang terpaksa menjalani penanganan medis, dan 797 pengguna narkotika yang harus dirawat. Meski tidak ada perempuan yang melahirkan, namun telah terjadi delapan kasus aborsi. Dua orang meninggal karena overdosis, dan seorang lagi tewas tergiling traktor yang supirnya tidak pernah diketahui sampai sekarang.

Woodstock memang terbilang sukses dan fenomenal, namun Lang dkk rugi besar hingga 1,3 juta dollar AS. Enam bulan setelahnya, Roberts dan Rosenman membeli saham milik Lang dan Kornfeld masing-masing senilai 31.240 dollar AS. Empat pemuda nekat penggagas Woodstock itu kemudian membubarkan diri dan berpisah.

* * * * *

Menurut ahli sejarah kontemporer AS, Bert Feldman, Woodstock adalah sebuah kejadian sejarah, sebuah bagian dari leksikon kultural. Seperti halnya Watergate yang dianggap puncak krisis kepercayaan nasional, atau Waterloo sebagai simbol kekalahan pahit bangsa Amerika.

Woodstock merupakan episode akhir dari hedonisme generasi bunga pada masa serba boleh di akhir dekade '60-an. Festival tersebut layak diukir sebagai salah satu tonggak kultur pop yang mendobrak tradisi konservatif atas nama kontrakultur.

Lebih daripada itu, Woodstock akan selalu menjadi fenomena klasik dalam sejarah rock & roll. Seperti yang dituturkan Feldman, "Woodstock adalah peristiwa yang hanya terjadi satu kali sepanjang hidup kita. Ia adalah kenangan kenangan terbaik, dan juga kenangan terburuk. Ia adalah sebuah pengalaman kebudayaan yang tidak akan pernah terjadi lagi."

Seni Propaganda: 7 Taktik Untuk Mempengaruhi Perilaku

Propaganda diciptakan untuk mempengaruhi pikiran dan perilaku orang, dengan tujuan menghasilkan respon yang memenuhi sasaran pelaku propaganda. Politikus, media, dan pemerintah sering menggunakan propaganda untuk memperoleh dukungan atas kebijakan yang dikeluarkan.

Propaganda memiliki banyak kesamaan dengan pemasaran (marketing) atau periklanan (advertising), terutama dalam hal pesan yang dibuat secara khusus dan selektif untuk mendorong/menggugah emosi penerima pesan (recipient).

Cara ini juga dapat anda terapkan untuk kepentingan promosional.

Bukan berarti bahwa anda menipu konsumen atau pembaca dengan memberikan fakta dan informasi palsu yang menyesatkan, namun metode propaganda ini berguna untuk mengkondisikan kampanye pemasaran dalam frame yang menarik minat audien anda.

Pada tahun 1939, Institute for Propaganda Analysis di New York menerbitkan artikel tentang tujuh alat propaganda.

Propaganda dan Masalah Atensi

Internet adalah jaringan informasi yang sangat besar. Terlalu banyak informasi untuk dikonsumsi, sementara terlalu sedikit waktu yang tersedia. Pengguna internet belajar untuk menyaring pengalaman berinternet mereka dengan menggunakan mesin pencari (search engine), RSS feed, dan situs-situs social media. Mencari informasi atau hiburan dengan memonitor berbagai saluran.

Anda mungkin sudah berlangganan sejumlah blog dan pengumpan (feed) informasi dengan topik tertentu. Jumlah konten yang sedemikian banyak berujung pada terpecahnya perhatian (atensi). Publisher blog dan marketer serta pelaku e-business harus mengatasi masalah information overload ini.

Although few studies have looked at this topic, it seems fair to suggest that many people respond to this pressure [of information overload] by processing messages more quickly and, when possible, by taking mental short-cuts.

Propagandists love short-cuts — particularly those which short-circuit rational thought. They encourage this by agitating emotions, by exploiting insecurities, by capitalizing on the ambiguity of language, and by bending the rules of logic.

Dari tujuh teknik yang akan dijelaskan di bawah, kebanyakan menekankan penggunaan picu emosi (emotional triggers) untuk mendorong dilakukannya tindakan segera. Tujuannya untuk menghubungkan audien dengan pesan dalam waktu yang singkat secara mendalam, yaitu dengan cara mengasosiasikan pesan tersebut dengan nilai-nilai (values) dan konsep yang dimiliki audien.

Bernice Fitz-Gibbon, seorang pionir dalam dunia retail advertising mengatakan; «A good ad should be like a good sermon: It must not only comfort the afflicted, it also must afflict the comfortable.»

Tujuh Teknik Propaganda

Studi propaganda telah mengalami perkembangan pesat sejak awal abad ke-20. Ketujuh teknik propaganda ini adalah model awal propaganda dan tidak terlalu komprehensif, meski demikian model awal ini akan memberi anda pengenalan tentang bagaimana propaganda dapat berperan dalam lingkungan sosial.

Saya tuliskan deskripsi singkat untuk masing-masing teknik tapi sengaja tidak mencantumkan tentang bagaimana anda dapat menggunakannya untuk kampanye pemasaran/branding yang anda upayakan, karena sebetulnya tidak sulit untuk mengadopsi taktik ini dan menerapkannya sendiri.

Beberapa metode seperti name-calling kurang cocok untuk tujuan pemasaran, kecuali tujuan anda adalah untuk mendapat publisitas dengan membangitkan kontroversi. Namun mungkin anda bisa memanfaatkan teknik tersebut (dan semua teknik propaganda lainnya) secara lebih cerdas.

1. Name-calling

Teknik ini menggunakan kata-kata yang menghubungkan seseorang atau ide dengan konsep yang negatif. Tujuannya untuk membuat orang menolak sesuatu karena asosiasi negatif yang melekat pada orang atau ide tersebut tanpa melihat kenyataannya.

Contoh kata yang digunakan ; 'Teroris', 'Nazi', 'Rasis', 'Homo'.

Name Calling is used as a substitute for arguing the merits of an idea, belief, or proposal. It is often employed using sarcasm and ridicule in political cartoons and writing.

2. Glittering Generalities

Kebalikan dari name-calling, taktik ini menggunakan highly valued concepts dan beliefs yang membuat audien merasa positif dan mengundang tepuk tangan meriah bila di-orasikan di depan massa. Kata-kata yang digunakan biasanya bermakna rancu, namun atraktif seperti ; 'Freedom', 'Honor', 'Love'.

Arti kata di atas bisa berbeda untuk tiap pendengar, namun teknik ini dapat berfungsi karena secara umum mempunyai konotasi positif.

When someone talks to us about democracy, we immediately think of our own definite ideas about democracy, the ideas we learned at home, at school, and in church.

Our first and natural reaction is to assume that the speaker is using the word in our sense, that he believes as we do on this important subject. This lowers our 'sales resistance' and makes us far less suspicious..

3. Transfer

Ini adalah teknik yang digunakan oleh pelaku propaganda untuk «memindahkan» otoritas dan penerimaan atas sesuatu yang anda hormati atau puja menjadi sesuatu yang ingin anda miliki. Cara yang digunakan yaitu dengan memproyeksikan sifat-sifat entitas, orang, atau simbol ke dalam wujud lainnya melalui asosiasi/penghubungan visual atau mental.

Hal ini menstimulasi penerima pesan/resipien untuk mengidentifikasikan dirinya dengan otoritas tersebut.

In the Transfer device, symbols are constantly used. The cross represents the Christian Church. The flag represents the nation. Cartoons like Uncle Sam represent a consensus of public opinion. Those symbols stir emotions. At their very sight, with the speed of light, is aroused the whole complex of feelings we have with respect to church or nation.

4. Testimonial

Tujuan testimonial adalah untuk menguatkan pengalaman, otoritas dan rasa hormat seseorang dan menggunakannya untuk mempromosikan sebuah produk atau hal. Testimonial memiliki daya tarik yang jauh lebih kuat terhadap emosi daripada terhadap logika, karena testimonial sejatinya memberikan pembenaran yang lemah atas suatu produk atau tindakan.

'The Times said,' 'John L. Lewis said…,' 'Herbert Hoover said…', 'The President said…', 'My doctor said…,' 'Our minister said…' Some of these Testimonials may merely give greater emphasis to a legitimate and accurate idea, a fair use of the device; others, however, may represent the sugar-coating of a distortion, a falsehood, a misunderstood notion, an anti-social suggestion…»

5. Plain Folks

Teknik di mana pelaku propaganda menempatkan dirinya sebagai orang biasa seperti halnya target audience, untuk menunjukkan kemampuannya ber-empati dan memahami kepedulian/perasaaan massa.

Pelaku menunjukkan perilaku atau menggunakan bahasa dan sikap yang menyatu dengan sudut pandang audien.

We are all familiar with candidates who campaign as political outsiders, promising to «clean out the barn» and set things straight in Washington. The political landscape is dotted with politicians who challenge a mythical «cultural elite,» presumably aligning themselves with «ordinary Americans.» As baby boomers approach their sixth decade, we are no longer shocked by the sight of politicians in denim who listen to rock n roll.

6. Card Stacking

Sebuah cara yang memanipulasi persepsi audien dengan menekankan satu sisi argumen yang memperkuat posisi anda, sambil di sisi lain menekan/meminimalisir opini yang bertentangan. Contohnya memperbandingkan best possible scenarios dengan worse examples.

Assume a newspaper editor were in favor of the non-enforcement of immigration laws. Should the issue of immigration law enforcement ever be debated among legislators, the editor might publish articles and editorials that ignore all mention of illegal alien criminals, gang members, and prisoners and report only on decent, hard-working foreigners instead. This sort of card stacking could go on for weeks and influence public opinion on the issue.

7. Bandwagon

Dalil dasar teknik bandwagon adalah 'since everyone is doing it, you should too'. Tujuannya mem-persuasi orang lain untuk mengikuti trend umum dengan cara memperkuat keinginan manusia untuk berada pada sisi yang menang. Pelaku 'mengompori' audien bahwa mereka akan kehilangan atau ketinggalan sesuatu bila tidak ikut bergerak dengan massa lainnya. Memanipulasi rasa takut dan rasa tidak aman.

With the aid of all the other propaganda devices, all of the artifices of flattery are used to harness the fears and hatreds, prejudices and biases, convictions and ideals common to a group. Thus is emotion made to push and pull us as members of a group onto a Band Wagon.

Sumber berasal dari Propaganda Critic. Lebih lengkapnya ada di sana. Tujuh teknik propaganda umum yang mungkin sudah sering anda alami dari media massa.