Kamis, 26 Agustus 2010

Humanitas sebagai Solidaritas

Air mata kesedihan karena bencana Alor dan Nabire belum terseka habis. Kini air mata duka kembali mengalir karena gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara. Gelombang tsunami memorakporandakan kehidupan beberapa negara Asia dan Afrika. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan hari berkabung nasional, darurat kemanusiaan, dan bakti sosial selama tiga hari, mulai 27 Desember 2004.
Jumlah korban meninggal akibat gempa serta tsunami di NAD dan Sumatera Utara dapat mencapai puluhan ribu orang. Badan Meteorologi dan Geofisika memprediksi, gelombang tsunami yang menerjang sebagian besar wilayah pantai barat dan utara NAD masih berpeluang kembali ke wilayah itu dalam dua minggu mendatang (Kompas, 28/12/2004).
Di tengah penderitaan itu, kita melihat tunas-tunas solidaritas tumbuh dalam masyarakat Indonesia yang plural. Banyak media massa berinisiatif membuka dompet kemanusiaan. Institusi-institusi agama mendorong pemeluknya untuk mengungkapkan solidaritas terhadap korban dengan memberi bantuan kemanusiaan. Banyak rumah ibadat membuka diri sebagai tempat penampungan jenazah korban dan pengungsian bagi keluarga korban yang kehilangan tempat tinggal. Para relawan kemanusiaan domestik dan internasional mulai berdatangan untuk membantu mencari para korban yang hilang dan melakukan evakuasi korban, pelayanan medis, menyediakan bantuan logistik, dan sebagainya.
Persaudaraan umat manusia
Jon Sobrino, salah satu tokoh teologi solidaritas terkemuka dari Amerika Latin, dalam Jesus the Liberator: A Historical-Theological View (1993) dan Christ the Liberator: A View from the Victims (2001) memahami solidaritas pertama-tama sebagai tanggung jawab bersama di antara komunitas keluarga manusia sebagai praksis kasih Allah. Mereka yang tidak menjadi korban berpartisipasi dalam kelemahan dan keterbatasan korban. A necessary and sufficient condition untuk solidaritas adalah persaudaraan sebagai keluarga manusia.
Menurut Sobrino, tanpa solidaritas tidak ada kasih. Lebih lanjut, tidak ada solidaritas tanpa inkarnasi.
Dalam tragedi bencana alam, perikemanusiaan (humanitas) kita dibangunkan dari tidur. Selama ini kita sering tertidur dan tidak bereaksi terhadap penderitaan di sekitar kita. Kita lebih sering berperan sekadar sebagai pengamat dan penonton. Solidaritas mulai dengan kesediaan untuk memasang mata, telinga, mulut terhadap wajah remuk, jeritan, dan suara senyap para korban. Allah hendak memperlihatkan suara dan wajah-Nya kepada kita melalui tubuh-tubuh korban yang terserak dan korban yang mengungsi ke tempat-tempat yang lebih aman.
Keadaban publik
Hilangnya keadaban publik (public civility) merupakan halangan terbesar tumbuhnya tunas-tunas solidaritas. Ketidakadaban publik merupakan pola pandang dan perilaku umum dalam masyarakat yang mengesampingkan dan menghancurkan kesejahteraan bersama. Orang dengan gampang berpaling dari penderitaan orang lain karena merasa, penderitaan orang lain bukan menjadi persoalan dan tanggung jawab mereka. Kesadaran kita dicelikkan bahwa penderitaan yang dialami saudara-saudara di NAD, Sumatera Utara, dan beberapa negara di Asia dan Afrika itu menjadi problem dan tanggung jawab bersama keluarga manusia. Penderitaan para korban adalah penderitaan kita sebagai komunitas manusia. Kita diundang bertanggung jawab terhadap kehidupan saudara- saudari kita yang mengalami penderitaan. Kita bersama hendak meringankan penderitaan dan melindungi mereka dari ancaman kematian prematur.
Dalam bahasa teologis, suara senyap dan tubuh-tubuh korban yang terserak merupakan titik perjumpaan antara Allah dan kita. Solidaritas tumbuh ketika kita secara autentik mendengarkan seruan senyap dan tubuh para korban yang terserak. Penderitaan korban memberi pesan kepada kita sebagai komunitas manusia dan komunitas umat beriman. Kita diundang melihat harapan korban akan kehidupan di tengah suasana dunia yang ditandai kematian prematur. Kita dipanggil berpartisipasi aktif dalam harapan para korban. Kita diundang dan dipanggil menjadikan harapan korban dengan situasi mereka menjadi harapan kita.
Akar harapan itu adalah kasih. Kasih menggerakkan tangan kita sebagai komunitas manusiawi-religius untuk mengulurkan tangan kepada mereka yang terluka, kehilangan tempat tinggal, dan yang meninggal dunia karena bencana kemanusiaan. Sebagai komunitas manusiawi- beriman, kita diundang dan dipanggil memberi kesaksian komunal mengenai kasih Allah, terutama kepada mereka yang mengalami penderitaan. Beberapa pemimpin negara turut berbela sungkawa dan memberi bantuan kemanusiaan kepada negara-negara yang mengalami bencana kemanusiaan itu.
Komunitas internasional menyadari kebutuhan mendesak bantuan darurat kemanusiaan. Di Indonesia, bencana kemanusiaan di Aceh dan Sumatera Utara membuat daerah-daerah itu benar-benar lumpuh. Bencana gempa dan tsunami melumpuhkan infrastruktur listrik, jaringan telekomunikasi, dan bahan bakar minyak (BBM). Bantuan dari luar daerah mutlak diperlukan, terutama bantuan makanan, obat-obatan, dan sheltering.
Di Asia dan Afrika ada kekhawatiran menyebarnya wabah penyakit dari jenazah korban yang membusuk dan belum ditemukan. Jasad korban yang membusuk mungkin akan mencemari persediaan air bersih di Indonesia, Sri Lanka, Thailand, India, Maladewa, Malaysia, Myanmar, Banglades, dan Somalia. Genangan air laut setelah gelombang tsunami itu juga akan menyebarkan wabah penyakit malaria dan diare (Kompas, 28/12/2004).
Komunitas pengharapan
Dapatkah kehadiran kita menawarkan harapan kehidupan bagi mereka yang mengalami kematian prematur karena penderitaan? Tantangan komunitas manusia-beriman zaman ini adalah mewartakan pesan harapan, kehidupan di tengah situasi penderitaan, kematian prematur korban. Di tengah dunia yang tampak buram inilah komunitas manusiawi- beriman dipanggil sebagai komunitas pengharapan. Memang kita tidak dapat melakukan segala sesuatu. Namun, kita dapat berbuat sesuatu bagi para korban.
Solidaritas mulai dari kesadaran humanitas kita sebagai homo socius terhadap the suffering others. Lebih lanjut, solidaritas tumbuh dari praksis Allah sendiri yang berkenan menjumpai kita dalam realitas penderitaan dunia. Kesaksian bersama kita sebagai komunitas pengharapan dapat memberi penghiburan, membalut luka-luka, dan memberi inspirasi kepada jauh lebih banyak korban yang mengalami penderitaan.

1 komentar:

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut